BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Disadari
atau tidak, kita kini hidup dan menikmati sistem kapitalisme global. Jargon
“globalisasi” sering digunakan sebagai eufemisme atas kapitalisme global.
Sistem kapitalisme global ditopang oleh tangan-tangan perusahaan multinasional,
dengan alokasi sumber daya yang didasarkan atas mekanisme pasar, dan diakuinya
hak-hak milik individu. Boleh dikata, jaringan perbankan global merupakan
jantungnya. Dalam sistem semacam ini, bunga (
interest ) ibarat darahnya perekonomiaan. Sayangnya sistem kapitalisme
berbasis bunga ini ternyata rentan terhadap krisis. Krisis ekonomi yang melanda
Indonesia, dan negara Asia lainnya, telah memporakporandakan sistem perbankan
dan seluruh sendi-sendi perekonomian. Industri perbankan yang tengah dilanda
krisis agaknya membutuhkan “obat” yang non-konvensional dan tidak sekadar
menelan “obat generik” yang dianjurkan IMF.
Para
pengatur “bank tanpa bunga” berangkat dari adanya kesadaran bahwa “sesuatu”
yang salah dalam sistem yang dianut selama ini. Tidak adanya nilai-nilai
Illahiyah yang melandasi operasional perbankan dan lembaga keuangan dituding
sebagai salah satu sumber krisis. Bank tanpa bunga diilhami oleh para pemikiran
Islam dan ahli fikih (hukum Islam) yang berkeyakinan Islam adalah suatu sistem
yang utuh dan terpadu yang diyakini mampu menjawab tantangan zaman.
Makalah ini mula-mula akan menguraikan
mengenai sejarah pemikiran ekonomi islam. Dilanjutkan dengan paradigma ekonomi
Islam, polemik apakah riba sama dengan bunga, bank tanpa bunga menurut kacamata
Islam, perkembangan bank syariah di Indonesia, dan memahami produk bank
syariah.
B. Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang masala di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
sejarah pemikiran ekonomi Islam?
2. Bagaimana
paradigma ekonomi Islam?
3. Apakah
bunga sama dengan riba dan apa sajakah jenis-jenis riba?
4. Apa dan
bagaimana bank tanpa bunga?
5. Apa saja
produk bank syariah?
C. Tujuan
Penulisan
Dari
rumusan masalah di atas, dapat dituliskan tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk
mengetahui tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam.
2. Untuk mengetahui
tentang paradigma ekonomi Islam.
3. Untuk
mengetahui apakah bunga sama dengan riba dan apa sajakah jenis-jenis riba.
4. Untuk
mengetahui tentang bank tanpa bunga.
5. Untuk
mengetahui tentang produk bank syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam
Sejarah
mencatat ilmu ekonomi sebenarnya merupakan ilmu yang relatif baru. Bila buku
Adam Smith, An Inquiry into the Nature
and Causes of Wealth of Nations yang terbit tahun 1776 dianggap sebagai
tonggak lahirnya ilmu ekonomi, maka ilmu ekonomi baru berumur 235 tahun.
Dibanding ilmu matematika kedokteran, kimia, fisika, astronomi, boleh di kata
ilmu ekonomi merupakan ilmu yang relatif
muda. Namun, barangkali tidak banyak yang tahu bahwa para pemikir Islam telah
banyak menyumbangkan pemikiran terhadap ilmu ekonomi, justru ketika Eropa
berada dalam “Abad Kegelapan “, jauh sebelum kelahiran buku Adam Smith.
Siddiqi
(1992) telah mencoba mengidentifikasi sejarah pemikiran ekonomi Islam dalam
tiga tahap. Tahap pertama, yaitu empat setenggah abad setelah Hijriah (sampai
tahun 1058 M/450 H), tradisi intelektual muslim ditandai dengan munculnya para
pelopor hukum Islam (fuqaha), yang
diikuti oleh para ahli sufi dan ahli filsafat Islam. Tahap kedua, antara tahun
1058-1446 M, merupakan fase perkembangan pemikiran ekonomi Islam. Saat itu
dilatarbelakangi dengan menjamurnya korupsi dan dekadensi moral, kenaikan
kesenjangan antara si kaya dan miskin, namun ekonomi berada dalam taraf
kemakmuran. Para pemikir Islam yang menonjol saat itu adalah Abu Hamid al
Ghazali (1055-1111M) dari Khurasan, Taqiuddin Ibnu Taymiyah (1263-1328 M) dari
Damaskus, dan Ibnu Khaldun (1332-1404 M) dari Maghrib. Al Ghazali, selain
dianggap pelopor tasawwuf, memperkaya
khasanah pemikiran Islam lewat pembagian kerja, evolusi uang, dan menjelaskan
dilarangnya Riba-al-Fadl. Sumbangan
utama Ibnu Taymiyah adalah dalam bidang Fikih dan pemurnian akidah, berbagai
jenis bagi hasil (misal mudharabah),
manajemen uang, kontrol harga bila perlu, peranan permintaan dan penawaran dalam
menentukan harga, dan analisis beban pajak tidak langsung. Fokus perhatian Ibnu
Khaldu adalah pada pasang surutnya suatu dinasti, dan siklus kemiskinan, dan
kemakmuran. Penjelasan Ibnu Khaldun mengapa suatu negara dapat makmur sedang
yang lain tidak, jelas lebih awal dibanding analisis Adam Smith mengenai
sebab-sebab kemakmuran suatu bangsa maupun analisis Gunnar Myrdal mengenai
sebab-sebab kemiskinan. Sumbangan utama Khaldun dalam ilmu ekonomi adalah
pembagian kerja, perdagangan internasional, dan keuangan negara.
Tahap
ketiga adalah 1446-1932 M, yang ditandai dengan menurunkan pemikiran
independen, bahkan cenderung terjadi stagnasi pemikiran. Kendati demikian,
beberapa pemikiran maupun tokoh reformis mengajak kembali ke Al-Qur’an dan
Sunnah, seperti Shah Wali-Ulllah (1703-1762), Mohammad bin Abdul Wahab (1787),
Jamaluddin Afghani (1897), Mufti Muhammad Abduh (1905), dan Muhammad Iqbal
(1938).
Agaknya missing link antara pemikiran ahli-ahli
ekonomi Islam dengan realitas dunia modern diakibatkan setidaknya oleh dua hal
: Pertama, periode penurunan, bahkan stagnasi, tradisi intelektual yang terjadi
pasca jatuhnya Baghdad (tahun 1258 M), di mana pemikiran orisional dan kreatif
tidak dianjurkan; Kedua, selama dua abad terakhir banyak negara Islam dijajah oleh
negara-negara Eropa (Ahmad dan Awan, 1992: 5).
B. Paradigma
Ekonomi Islam
Kritik
utama ekonomi Islam terhadap ilmu ekonomi modern adalah kecenderungan bebas
nilai (value free) dan amoral (Ahmad,
1981; 1992). Ini besar kemungkinan diakibatkan : Pertama, karena ilmu ekonomi
cenderung berbicara pada dataran positif (positive
economics) untuk menjaga objektifitas ilmu namun amat sering dilanda
kritis. Kedua, model dan masyarakat ekonomi yang dikembangkan selama 2 abad
terakhir berada dalam tradisi sekularisme Barat. Ketiga, tradisi pemikiran
Neo-Klasik cenderung menempatkan fasafah individualisme (maksimilisasi kepuasan
dan maksimisasi laba), naturalisme (percaya dengan mekanisme pasar sebagai invisible hand), dan utilitarianisme
sebagai dasar penyusunan teori dan modelnya.
Dalam
sistem ekonomi kapitalis, ilmu ekonomi adalah studi mengetahui aktivitas
ekonomi manusia, teruma manusia sebagai homo
economicus, di mana perilakunya didorong oleh kelangkaan sumberdaya untuk
mencapai tujuan tertentu. Manusia ekonomi diasumsikan rasional dalam segala
perilakunya. Namun rasional di sini diartikan secara sempit, yaitu rasional
yang egoistik karena dalam segara tindak tanduknya manusia dibimbing oleh
kepentingan pribadi, baik memaksimalkan kepuasan maupun keuntungan.
Konsep
Islam mengenai rasionalitas tidak menyangkal bahwa kepentingan pribadi
merupakan salah satu penentu perilaku manusia, namun kepentingan pribadi ini
dikendalikan dengan mengkaitkannya dengan tanggung jawab pribadi dan sosial,
serta moralitas secara umum. Rasionalitas ekonomi dan kepentingan pribadi harus
beroperasi dalam kerangka moral dan hukum, sesuai yang dituntunkan oleh
Syariah. Karena itu, ekonomi Islam mencoba memasukkan konsep yang terlupakan
dalam ilmu ekonomi seperti benar dan salah, adil dan tidak adil, dan
sebagainya. Dengan kata lain, kerangka Islam memasukkan unsur nilai ke dalam
analisis ekonomi.
Paradigma
yang digunakan dalam ekonomi Islam adalah keadilan sosial dan ekonomi sebagai
tujuan utama (QS¹². 57: 25). Oleh karena itu, tidak seperti paradigma pasar
dalam teori ekonomi konvensional yang memaksimalkan kekayaan dan konsumsi,
melainkan menekankan perlunya kebutuhan material dan spiritual. Kebutuhan
spiritual tidak hanya dipuaskan dengan doa, namun juga terpenuhinya perilaklu
individu dan sosial sesuai ajaran Islam (syariah). Kendati demikian, diperlukan
filter moral dalam paradigma ini bagi alokasi dan distribusi sumberdaya tidak
berarti ditolaknya peranan harga dan pasar. Tujuan utama ekonomi Islam, pada
gilirannya, merupakan realisasi kesejahteraan manusia melalui aktulisasi ajaran
Islam. Dalam konteks inilah dapat dipahami adanya beberapa definisi ekonomi
Islam sebagai berikut :
“
Ekonomi Islam adalah ilmu dan aplikasi petunjuk dan aturan Syariah yang
mencegah ketidakadilan dalam memperoleh dan menggunakan sumberdaya material
agar memenuhi kebutuhan manusia dan agar dapat menjalankan kewajibannya kepada
Allah dan masyarakat.” (Hasanuzzaman, 1984: 52)
“Ekonomi
Islam adalah ilmu sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat
dalam perspektif nilai-nilai Islam.” (Maman, 1986: 18)
Ekonomi
Islam adalah “suatu upaya sistematik untuk memahami masalah ekonomi dan
perilaku manusia yang berkaitan dengan masalah itu dari perspektif Islam”.
(Ahmad, 1992: 19)
Ekonomi
Islam adalah “tanggapan pemikir-pemikir muslim terhadap tantangan ekonomi pada
zamannya. Dalam upaya ini mereka dibantu oleh Qur’an dan Sunnah, serta alasan
dan pengalaman”. (Siddiqi, 1992: 69)
“Ekonomi
Islam memusatkan perhatian pada studi tentang kesejahteraan manusia yang
dicapai dengan mengorganisasikan sumberdaya di bumi atas dasar kerja sama dan
partisipasi”. (Khan, 1994: 33)
“Ekonomi
Islam merupakan studi mengenai represensi perilaku ekonomi umat Islam dalam
suatu masyarakat muslim modern”. (Naqvi, 1994: 20)
“Ekonomi
Islam dapat didefinisikan sebagai cabang ilmu yang membantu merealisasikan
kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumberdaya yang langka,
yang sejalan dengan ajaran Islam, tapa membatasi kebebasan individu ataupun
menciptakan ketidakseimbangan ekonomi makro dan ekologis.” (Chapra, 1996 : 33)
Pertanyaan
yang mungkin muncul, kemudian, bagaimana hubungan antara ekonomi Islam dengan
ekonomi “konvensional”?
Ekonomi “konvensional”
yang selama ini dikenal berisi banyak pertanyaan-pertanyaan positif, kendati
demikian, peranan nilai tidak secara eksplisit disebutkan. Bagi seorang muslim
(mat) satu-satunya sumber nilai adalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Konsekuensinya, apapun nilai yang dibutuhkan dalam proses analisis ekonomi
harus diturunkan dari kedua sumber nilai tersebut. Menurut Zarqa (1992),
ekonomi Islam, secara lebih spesifik, terdiri atas komponen berikut : Pertama,
ajaran nilai berasal dari Qur’an, Sunnah, dan sumber-sumber lain (tafsir,
fikih, dll). Kedua, pernyataan positif yang ada dalam ekonomi Islam berasal
dari Al-Qur’an dan Sunnah. Keempat, hubungan antar variabel ditemukan lewat
observasi, analisis dan eksperimen sebagai sumber ilmu.
Oleh
karena itu, tugas ekonomi Islam lebih besar daripada ilmu ekonomi konvensional
(Chapra, 1996: 35-36). Tugas pertama
ekonomi Islam adalah mempelajari perilaku aktual individu dan kelompok,
perusahaan, pasar, dan pemerintah. Aspek inilah yang diupayakan oleh ilmu
ekonomi konvensional untuk dilakukan, namun agaknya belum memuaskan karena
adanya asumsi perilaku yang mementingkan diri sendiri seperti maksimisasi
kekayaan materi dan maksimisasi kepuasan. Karena itu, tugas kedua ekonomi Islam adalah menunjukkan jenis perilaku yang
dibutuhkan untuk merealisaikan tujuan. Nilai-nilai moral berorientasi pada
realisasi tujuan, maka ekonomi Islam perlu mempertimbangkan nilai-nilai dan
lembaga Islam, dan secara ilmiah menganalisis dampaknya terhadap pencapaian
tujuan. Ketiga, karena adanya
perbedaan antara perilaku ideal dan aktualnya, ekonomi Islam harus menjelaskan
mengapa para pelaku ekonomi tidak bertindak menurut jalan yang seharusnya. Keempat, karena tujuan utama pencarian
ilmu adalah membantu peningkatan kesejahteraan manusia, ekonomi Islam harus
menganjurkan cara bagaimana yang dapat membawa perilaku semua pemain di pasar
yang mempengaruhi alokasi dan distribusi sumberdaya sedekat mungkin dengan
tingkat yang ideal.
Positif vs Normatif
Pertanyaan
yang selalu muncul dalam setiap diskusi mengenai ekonomi Islam adalah : apakah
ekonomi Islam berbicara pada dataran positif, normatif, atau keduanya ? Ekonomi
positif (positive economics) membahas
mengenai realitas hubungan ekonomi, atau “what is”. Sedang ekonomi normatif (normative economics) membicarakan
mengenai apa yang seharusnya dilakukan berdasarkan nilai tertentu, baik secara
eksplisit maupun implisit; dengan kata lain disebut “what ought to be”.
Our’an
dan Sunnah memang tidak saja berbicara pada dataran normatif (das sollen) namun juga menyajikan
informasi positif. Misalnya, lihat kutipan dua surat dalam Al-Qur’an berikut
ini :
·
“Dan
jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan
melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki –Nya
dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi
Maha Melihat”. (Q.S. 26: 27)
·
“Ketahuilah!
Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya
serba cukup”. (Q.S.: 96: 6-7)
Ayat-ayat
ini menunjukkan bagaimana dampak kenaikkan kekayaan/penghasilan yang
substansial terhadap perilaku manusia. Bukti-bukti memang menunjukkan bahwa
manusia biasanya cenderung melampaui batas bila kaya dan serba cukup. Contoh
pernyataan positif lain dalam Qur’an adalah :
·
“Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu :
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis-jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia; dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga)”.(Q.S. 3: 14)
·
“Dan
sesunguhnya dia sangat bakhil karena kepada harta”. (Surat Al Aadiyaat: 8)
Nabi
Muhammad SAW memperingatkan kecenderungan serakahnya manusia, sebagaimana
diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim, Sebagai berikut :
Andaikata seorang anak Adam telah memiliki
harta benda sebanyak satu lembah, tentu ia akan berusaha memiliki dua lembah.
Dan adaikata ia telah memiliki dua lembah, tentu ia akan berusaha untuk
memiliki tiga lembah. Memang tidak ada yang dapat memnuhi kehendak anak Adam
melainkan tanah. Dan Allah akan memberikan tobat bagi mereka yang bertobat.
Manusia
dilukiskan dalam aya-ayat ini mempunyai kecintaan yang amat kuat terhadap
kekayaan. Ini sejalan dengan pandangan ekonom yang biasanya mengkonsumsikan
perilaku manusia terhadap harta cenderung tak ada batasnya. Ayat di atas
mengajarkan bahwa ganjaran di hari akhirat membuat manusia bersifat moderat.
Ada dua hubungan yang bisa kita tarik benang merah dari ayat-ayat di atas,
yaitu bahwa di satu sisi ada keinginan yang tak terbatas dari manusia terhadap
kekayaan, dan di sisi lain, keinginan tersebut dapat dibikin moderat bila
manusia menyadari dan mengingat ganjaran dan hukuman di akhirat kelak.
Oleh
karena itu, barangkali benar pendapat Mannan (1993) bahwa aspek-aspek nornatif
dan positif saling berkaitan erat dalam ekonomi Islam. Akibatnya, setiap usaha
memisahkan antara keduanya akan berakibat menyesatka. Dengan kata lai,
perbedaan antara ekonomi positif dan normatif kurang relevan baik dalam
tingkatan teori maupun kebijakan. Oleh karena itu, ia menyimpulkan bahwa
masalah dalam ekonomi Islam harus dipahami dan dinilai dalam rangka ilmu
pengetahui sosial yang terintegrasi, tanpa memisahkan komponen normatif dan
positif.
Kendati
demikian, dalam konstelasi pemikiran ekonomi Islam, agaknya persektif ekonomi
positif dan normatif dapat diketemukan. Dikalangan para ahli yang memberika
kontribusi serius terhadap ekonomi Islam, terdiri atas : para spesialis Syariah
yang mengenal ilmu ekonomi ; para ahli ekonomi yang mengenal Syariah ; dan para
ahli yangmenguasai ilmu ekonomi sekaligus Syariah, meskipun yang terakhir ini
relatif langka. Oleh karena itu, bisa dipahami bila Zarqa (1992)
mengklasifikasi 4 katagori pemikiran ekonomi Islam.
Pertama, mereka
yang banyak menyumbang pemikiran dalam aspek normatif dalam bidang sistem
ekonomi Islam, menentukan prinsip-prinsip baru dalam sistem tersebut, atau
menjawab pertanyaan-pertanyaan modern mengenai sistem itu. Para ahli Syariah
agaknya merupakan kontributot utama bagi pemikiran tipe ini.
Kedua,
penemuan asumsi-asumsi dan parnyataan-pernyataan positif dalam Al Qur’an dan
Sunnah, yang relevan bagi ilmu ekonomi. Konsepsi ekonomi Islam mengenai pasar,
yang diturunkan dari Syariah, mengajukanasumsi adanya ketimpangan informasi
antara pembeli dan penjual. Ini berbeda dengan model persaingan sempurna dalam
ekonomi mokro yang secara eksplisit mengasumsikan semua pelaku pasar memiliki
informasi yang komplit, dan informasi tersebut tersedia secara bebas. Karya
MunawarIqbal (1992) mengenai organisasi produksi dan teori perilaku perusahaan
dalam perspektif Islam merupakan contoh kategori ini.
Ketiga,
terdapatnya pernyataan ekonomi positif yang dibuat oleh para pemikir islam. Ini
bisa ditelusuri dari karya-karya Ibnu Khaldun, misalnya tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan menurunkan masyarakat.
Contoh lain adalah karya Al-Maqrizi mengenai analisis inflasi.
Keempat,
analisis ekonomi dalam bagian sistem ekonomi Islam dan analisis konsenkuensi
pernyataan positif ekonomi Islam mengenai kehidupan ekonomi. Penyumbang utama
pemikiran ini adalah para ahli ekonomi yang mengenal Syariah dan umumnya begitu
perhatian mengenai analisis ekonomi modern. Menariknya, akhir-akhir ini mulai
banyak ekonomi non-muslim yang melontarkan pemikiran berlandaskan ekonomi
Islam. Ini bisa dilihat dari artikel karya Badal Mukerji, misalnya, mengenai “A
Micro Model of the Islamic Tax System”.
C. Bunga=
Riba ?
Memang
harus diakui model dan masyarakat ekonomi yang dikembangkan selama beberapa
abad terakhir condong berada dalam tradisi sekularisme Barat. Tradisi pemikiran
ekonomi konvensional pu cenderung menempatkan falsafah individualisme
(maksimisasi kepuasan dan maksimisasi laba), naturalisme (percaya dengan
mekanisme pasar sebagai invisible hand),
dan pengagungan materi.
Ini
amat kontras dengan Ekonomi Islam yang sarat dengan ajaran etika Islam dan
menawarkan dimensi normatif (das sollen)
maupun positif (das sein). Ajaran
Islam mengajarkan : pertama, etika tauhid, bahwa segala sesuatu bersumber dari
Allah, dan meletakkan “ketaqwaan kepada Allah sebagai syarat utama bagi rezeki
Allah (Q.S. 7: 96). Kedua, etika tanggung jawab, bahwa “manusia dijadikan Allah
sebagai pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas yang
dipimpinnya (Q.S. 2: 30). Ketiga keadilan sosial dan ekonomi merupakan
paradigma utama. Ke-empat, menekankan perlunya keseimbangan kebutuhan material
dan spiritual.
Bagi
seorang muslim, satu-satunya sumber nilai adalah Al Qur’an dan Sunnah Nabi.
Konsekuensinya, apapun nilai yang dibutuhkan dalam analisis dan perilaku
ekonomi harus bersandar pada kedua sumber nilai tersebut. Ini tercermin dari
pandangan Islam mengenai bunga. Uniknya, di kalangan ulama dan cendekiawan
Islam masih polemik apakah bunga sama dengan riba. Lalu apakah yang dimaksud
dengan riba sebenarnya?
1. Pengertian
Riba
Riba menurut istilah bahasa Arab berarti
tambahan, peningkatan, ekspansi atau pertumbuhan (Homoud, 1994). Menurut
istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan {premium) sebagai syarat yang
harus dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman selain pinjaman pokok.
Dalam hal ini, riba memiliki arti yang sama dengan bunga sebagaimana konsensus
para fuqaha.
Pengertian riba yang berarti tambahan menurut
para ulama dan ahli hukum Islam dapat disimak di bawah ini (Antonio, 1999:
74-75) :
·
Badr Ad
Din Al Ayni
“Prinsip utama dalam riba adalah penambahan.
Menurut syariah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi
bisnis riil.”
·
Raghib
Al Asfahani
“Riba adalah penambahan atas harta pokok.”
·
Imam
Sarakhsi
“Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam
transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (atau padanan yang dibenarkan syariah atas
penambhan tersebut).”
2. Riba
Menurut Islam (Al-Qur’an)
Menurut Al-qur’an, pandangan Islam mengenai
riba dapat dilihat pada kutipan 4 surat dengan beberapa ayat, yang diturunkan
dalam empat tahap berikut ini :
“Dengan sesuatu riba (tambahan) yang kamu
berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah
pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan
untuk mencapai eridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang
yang melipatgandakan (pahalanya)” (Q.S.
30:39).
Ayat ke-39 dalam surat Ar-Rum ini diturunkan di
kota Mekah sebelum Hijriah. Tafsir ayat ini menunjukkan bahwa riba masih
merupakan indikasi bukan keharusan (Homoud, 1994: 3). Namun jelas menolak bahwa
riba yang seolah-olah dapat menolong mereka yang membutuhkan merupakan
perbuatan yang diridhai Allah.
“maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi,
Kami haramkan atas mereka yang (memakan makanan) yang baik-baik (yang
dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi
(manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal
sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harga
orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang
kafir di antara mereka siksa yang pedih.” (Q.S.
4: 160-161).
Dalam surat An-Nisa ayat ke 160-1 yang
diturunkan di kota Madinah setelah Hijriah di atas masih belum secara tegas
melarang riba. Ayat tersebut membicarakan tentang orang-orang Yahudi yang telah
melanggar hukum Taurat dengan memakan riba walaupun telah dilarang. Untuk itu
Allah mengancam orang-orang Yahudi dengan balasan yang keras.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. 3:
130)
Ayat 130 Surat Ali-Imran turun setelah kaum
Muslim mengalami kekalahan dalam perang Uhud pada tahun ke-3 hijriyah. Ayat ini
merupakan peraturan pertama yang melarang
kaum Muslim memakan riba. Selain itu ayat ini juga menjelaskan bahwa sifat umum
riba adalah berlipat ganda.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak
dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lamaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba.....Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah
.....Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah
sisa-sisa (dari berbagi jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman
......Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaut
(dari penggambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan
tidak pula dianiaya .” (Q.S. 2 :
275-279).
Ayat- ayat ini diturunkan ketika suku Thaqeef
dari Arab menagih riba. Padahal suku ini telah memeluk Islam pada bulan
Ramadhan pada tahun ke 9 Hijriah (Homoud, 1994 : 3-4). Perlu dicatat bahwa
Mekah sudah dikuasai oleh Islam setahun sebelumnya. Ayat-ayat terakhir yang
menyangkut riba tersebut secara tegas mengharamkan segala bentuk riba, bahkan
Allah dan Rasul-Nya menyatakan perang terhadap pengambil riba. Selain itu
ayat-ayat ini secara tegas memberikan tuntunan bahwa : (1) jual beli tidak
indentik dengan riba dan karenanya diperbolehkan; (2) bagi yang telah memakan
riba harus segara berhenti menagih sisa riba.
3. Jenis-jenis Riba
Dalam fikih muamalah
setidaknya dikenak dua macam riba, yaitu riba al-Nasi’ah dan riba al Fadl.
a. Riba Al-Nasi’ah
Istilah Nasi’ah berasal dari nasda yang berarti
penundaan yang mengacu pada penangguhan waktu penyerahan atau penerimaan jenis
barang ribawi dengan jenis barang ribawi lainnya (Chapra,1985:57). Riba Nasi’ah
muncul karena adanya perbedaan, perubahan, premi, atau tambahan antara yang
diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Hadits yang menerangkan
larangan terhadap riba nasi’ah antara lain:
Diriwayatkan dari Usama ibn
Zayd, Rasulullah bersabda,”tidak ada riba kecuali dalam nasi’ah”(H.R. Bukhari
dalam kitab Al Buyu)
“Tidak ada riba dalam jika
pembayarannya dilakukan dari tangan ke
tangan (cash) “(H.R. Muslim,
dalam Kitab Al-Musaqat)
b. Riba Al-Fadl
Riba Al-fadl adalah pertukaran antara barang-barang
sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda. Atau dengan kata lain riba
Al-fadl muncul dalam perdagangan yang tidak adil dan merugikan salah satu
pihak. Untuk menghindari terjadinya riba al-fadl maka diperlukan pengetahuan
yang sama mengenai harga yang berlaku pada saat yang terjadi oleh penjual dan
pembeli. Hal tersebut penting untuk menghindari kecurangan dalam penetapan
harga dan kualitas barang yang ditransaksikan.
Contohnya pada transaksi barter: perlunya kesetaraan
nilai dan kualitas. Bila anda menjual 1,01 kuintal beras, padahal timbangan
yang benar hanya 1 kuintal, maka kelebihan 0,01 kuintal disebut riba al-fadl.
Hadits yang menerangkan
tentang riba al fadhl antara lain:
·
Diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri bahwa Rasulullah
bersabda, “Emas hendaknya dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum
dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam,
bayran harus dari tangan ke tangan (cash). Barang siapa memberi tambahan atau
meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba. Penerima dan
pemberi sama-sama bersalah.”(H.R. Muslim, dalam Kitab Al-Masaqqah)
· Diriwayatkan
oleh Abu Said Al Khudri bahwa suatu ketika ketika beliau membawa barni (kurma
berkuaitas baik) ke hadapan Rasulullah dan beliau bertanya kepadanya, “Dari
mana engkau mendapatkannya?”Bilal menjawab, “Saya mempunyai sejumlah kurma dari
jenis yang rendah mutunya dan menukarkannya dengan dua sha’ untuk satu sha’
kurma jenis barni untuk dimakan oleh Rasulullah”, kemudian Rasulullah
berkata,”Hati-hati! Hati-hati! Ini sesungguhnya riba, ini sesungguhnya riba.
Jangan berbuat begini, tetapi jika kamu membeli (kurma yang mutunya lebih
tinggi), juallah kurma yang mutunya rendah untuk mendapatkan uang dan kemudian
gunakanlah uang tersebut untuk membeli kurma yang bermutu tinggi itu.”(H.R.
Bukhari, dalam Kitab Al Walakah.
4. Fatwa Mengenai Riba
di Indonesia
Dua ormas Islam berpengaruh
di Indonesia yaitu Majlis Tarjih Muhammadiyah dan Lajnah Basul Masa’il Nahdatul
Ulama sama-sama telah mengeluarkan fatwa mengenai riba. Brikut adalah cuplikan
keputusan-keputusan pentingkedua lembaga ijtihad tersebut yang berkenaan dengan
riba dan pembungaan uang (Antonio, 1999:103-109):
a. Majlis Tarjih Muhammadiyah
·
Riba hukumnya haram dengan nash sharih Al-Qur’an dan
as Sunnah
·
Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa
riba hukumnya halal
·
Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara
kepada nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara
musytabhihat (dianggap diragukan)
·
Koperasi simpan pinjam hukumnya adalah mubah, karena
tambahan pembayaran pada koperasi simpan pinjam bukan termasuk riba dengan
catatan, hendaknya pembayaran tmbahan (jasa) tidak melampaui laju inflasi.
b.
Lajaah Bahsul
masa’li Nahdatul Ulama
Ada pendapat yang mempersamakan antara bunga bank
dengan riba secara mutlak, sehingga hukumnya haram. Pendapat ini dengan
beberapa variasi keadaan:
·
Bunga itu dengan segala jenisnya sama dengan riba,
sehingga hukumnya haram.
·
Bunga tersebut sama dengan riba sehingga hukumnya
haram. Akan tetapi boleh dipungut sementara sistem perbankan yang islami atau
tanpa bunga belum beroperasi.
·
Bunga itu sama dengan riba, hukumnya haram, akan
tetapi boleh dipungut sebab ada kebutuhan yang kuat (hajjah rajihah)
Ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank
dengan riba, sehingga hukumnya boleh. Pendapat ini juga dengan beberapa variasi keadaan:
·
Bunga konsumsi sama dengan riba, hukumnya haram. Bunga
produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
·
Bunga yang diperoleh dari tabungan giro tidak sama
dengan riba, hukumnya halal.
·
Bunga yang diterima dari deposito yang disimpan di
bank, hukumnya boleh.
·
Bunga yang tidak haram kalau bank itu menetapkan tarif
bunganya terlebih dahulu secara umum.
Ada pendapat yang menyatakan hukumnya syubhat (
tidak identik dengan haram)
Kita dapat pula menyimak konsep bunga di kalangan kaum
Yahudi, Yunani dan Romawi, serta Injil,
yang ternyata juga melarang praktek riba atau “usury” (Antonio, 1999:79-87). Bisa
dipahami, alasan pembenaran atas riba dengan menunjukkan kelemahan alasan
keadaan darurat, pelarangan bunga yang berlipat, maupun pandangan bank yang
tidak termasuk kategori mukallaf.
D.
Apa dan Bagaimana Bank Tanpa Bunga?
Islam melarang riba karena
ketidakadialan yang melekat didalamnya. Alternatifnya, Islam menawarkan
berbagai bentuk transaksi alternatif, yang syarat dijiwai oleh fikih muamalah.
Posisi sistem muamalah dalam Islam dapat dilihat pada gambar 17.1 berikut:
Gambar 17.1
Posisi Sistem Muamalah dalam Islam
Sumber : Muhammad (2000,2)
Bank Syariah di Indonesia
Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah islam yaitu mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang ada
dalam Al-Qur’an dan Hadist. Dengan mengacu kepada Al-Qur’an dan Hadist maka
diharapkan bank syariah dapat menghindari praktek-praktek yang mengandung
unsur-unsur riba dan melakukan usaha dengan kegiatan investasi atas dasar bagi
hasil dan pembiayaan perdagangan.
Perkembangan bank-bank syariah di beberapa negara
Islam berpengaruh terhadap Indonesia. Pada awal tahun 1980-an, pembahasan
mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam telah dilakukan. Para ulama
waktu itu telah berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga, tetapi terbentur oleh
adanya perangkat hukum yang dapat dirujuk, kecuali bahwa perbankan dapat saja
menetapkan bunga sebesar 0%.
Usaha yang lebih nyata untuk mendirikan bank Islam
Indonesia baru dilakukan pada tahun 1990. Dalam musyawarah Nasional Majelis
Ulama Indonesia pada tanggal 22-25 Agustus 1990 di Jakarta, MUI mengamanatkan
dibentuknya kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia. Bank
Muamalat Indonesia merupakan Bank Umum syariah pertama yang beroperasi di
Indonesia yang berdiri atas hasil kelompok kerja MUI. Pada tanggal 1 Mei 1992,
Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi. Hingga September 1999 Bank Muamalat Indonesia telah memiliki
45 outlet yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan dan
Makassar.
Perkembangan lembaga-lembaga keuangan syariah itu
tergolong cepat. Salah satu alasannya adalah karena adanya keyakinan yang kuat
dikalangan masyarakat muslim bahwa perbankan konvensional itu mengandung riba
yang dilarang dalam Islam. Pendirian Muamalat tersbut diikuti oleh bank-bank perktreditan
rakyat syariah. Namun demikian, adanya kedua jenis bank tersebut belum mampu
menjangkau masyarakat Isalam lapisan bawah. Oleh karena itu, maka dipeloporilah
pendirian lembaga-lembaga simpan pinjam yang disebut dengan Baitul Maal Wa
Tamwil.
Bagaimana perkembangan bank syariah di Indonesia? Pada
awal operasinya, keberadaan bank syariah ini belum mendapat perhatian dari
masyarakat dibandingkan dengan bank-bank konvensional yang telah ada. Landasan
hukum bank yang menggunakan sistem syariah hanya dikategorikan sebagai “bank
dengan sistem bagi hasil”. Tidak terdapat rincian landasan hukum syariah serta
jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini sangat jelas tercermin dari UU
No. 7 Tahun 1992, dimana pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil diuraikan hanya sepintas lalu dan merupakan”sisipan”
belaka.
Perkembangan perbankan syariah pada era reformasi
dtandai dengan disahkannya UU No. 10 Tahun 1998. Dalam Undang-Undang tersebut
diatur dengan rinci landasan hukum, serta jenis-jenis usaha yang dapat
dioperasikan oleh bank syariah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan
bagi bank-bank konvensional untuk membuka bank syariah atau bahkan mengkonversi
diri secara total menjadi bank syariah.
Peluang tersebut ternyata disambut dengan antusias
oleh masyarakat perbankan. Sejumlah bank muali memberikan pelatihan dalam
bidang perbankan syariah bagi para stafnya. Sebagian bank tersebut menjajaki
untuk membuka divisi atau cabang syariah dalam institusinya. Sebagian lainnya
bahkan berencana mengkonversi diri sepenuhnya menjadi bank syariah.
Salah satu bank milik pemerintah yang pertama kali
melandaskan operasionalnya pada prinsip syariah adalah Bank Syariah Mandiri
(BSM). Secara struktural BSM berasal dari Bank Susila Bakti, sabagai salah satu
anak perusahaan di lingkup Bank Mandiri, yang kemudian dikonversikan menjadi
bank syariah secara penuh.
Perkembangan lain bank syariah di Indonesia pasca
reformasi adalah dikarenakan konversi cabang bank umum konvensional menjadi
cabang syariah. Sampai dengan Maret 2002, di Indonesia sudah ada
(Karim,2002,Antonio,2002):
-
2 Bank Umum Syariah (BUS) secara penuh (yaitu Bank
Muamalat dan Bank Syariah Mandiri)
-
6 Unit Usaha Syariah (UUS), yaitu Bank IFI Syariah,
Bank BNI Syariah, Bank Jabar Syariah, Bank Bukopin Syariah, Bank BRI Syariah,
Bank Danamon Syariah.
-
80 BPR Syariah
-
Sekitar 8.000 Baitul Maal Wat Tamwil (BMT)
Bunga vs Bagi
Hasil
Bank Syariah
· Besar
kecilnya bagi hasil yang diperoleh deposan tergantung pada:
-
Pendapatan bank
-
Nisbah bagi hasil antara nasabah dan bank
-
Nominal deposito nasabah
-
Rata-rata saldo deposito untuk jangka waktu tertentu
yang ada pada bank
-
Jangka waktu deposito karena berpengaruh pada lamanya
investasi
·
Bank syariah memberi keuntungan kepada deposan dengan
pendekatan LDR, yaitu mempertimbangkan rasio antara dana pihak ketiga dengan
pembiayaan yang diberikan.
·
Dalam perbankan syariah, LDR bukan saja mencerminkan
keseimbangan tetapi juga keadilan, karena bank benar-benar membagikan hasil ril
dari dunia usaha (loan) kepada penabung (deposit)
Bank Konvensional
· Besar kecilnya bunga yang diperoleh deposan
tergantung pada:
-
Tingkat bunga yang berlaku
-
Nominal deposito
-
Jangka Waktu deposito
· Semua bunga yang diberikan kepada deposan menjadi
beban biaya langsung
· Tanpa memperhitungkan berapa pendapatan yang
dihasilkan dari dana yang dihimpun
· Konsekuensinya, bank dapat menanggung bunga dari
peminjam yang ternyata lebih kecil dibandingkan dengan kewajiban bunga ke
deposan. Hal inilah yang disebut dengan negative
spread atau keuntungan negatif.
Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil
BUNGA
|
BAGI HASIL
|
a. Penentuan
bunga dibuat waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
|
a.
Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat
pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi
|
b. Besarnya
persentase bedasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
|
b.
Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah
keuntungan yang diperoleh
|
c. Pembayaran
bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang
dijalankan oleh nasabah untung atau rugi
|
c.
Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang
dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua
belah pihak
|
d. Jumlah
pembayaran bunga tidak meningkat seklipun jumlah keuntungan berlipat atau
keadaan ekonomi sedang “booming”
|
d.
Jumlah pembagian laba meningkat sesuai peningkatan
jumlah pendapatan
|
e. Eksistensi
bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh agama termasuk Islam
|
e.
Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil
|
Sumber: Antonio (1999:102)
E. Produk Bank Syariah
Sistem operasional Bank Syariah agak
berbeda dengan sitem operasional bank konvensional. Perbedaan mencolok terjadi
terutama produk-produk yang ditawarkan maupun jenis-jenis pembiayaan. Secara
garis besar berbagai produk dan pembiayaan bank syariah diarangkum dalam gambar
17.2 berikut:
Gambar 17.2.
Sistem Operasional Bank Syariah
Sumber :
Muhammad (2000:4)
1.
Produk
Penghimpunan Dana
Produk-produk
penghimpunan dana masyarakat yang ditawarkan bank syariah terdiri dari:
a.
Wadi’ah
Al-wadi’ah merupakan titipan murni dari satu pihak ke pihak
lainnya baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan
kapan saja si penitip menghendaki. Pada pelaksanaannya, wadi’ah dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu:
·
Wadi’ah
yad al-amanah
Pihak yang pertama menerima titipan tidak boleh menggunakan
dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Pihak yang memberikan
titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan.
·
Wadi’ah
yad adh-dhamanah
Pihak yang pertama menerima titipan boleh menggunakan dan
memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan tanpa izin pemilik barang atau
uang dan harus bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan.
Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang atau
uang tersebut menjadi hak penerima titipan, dalam hal ini bank sebagai
penerima titipan dapat memberikan insenstif berupa bonus kepada si penitip.
b.
Al – Musyarakah
Al – Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi
dana (atau amal /expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan
resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Al Musyarakah terdiri dari dua jenis, yaitu:
·
Muyarakah pemilikan, tercipta karena
warisan, wasiat atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilian suatu aset
oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau
lebih berbagi dalam sebua aset nyata, dan berbagi pula dari keuntungan yang
dihasilkan aset tersebut.
·
Musyarakah Akad, tercipta dengan cara
kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari meteka
memberikan modal musyarakah dan sepaat untuk berbagi keuntungan maupun
kerugian.
Aplikasi Al-Musyarakah dalam perbankan syariah berupa:
·
Pembiayaan Proyek
Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana
nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut.
Setelah proyek selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil
yang telah disepakati untuk bank.
·
Modal Ventura
Pada lembaga keuangan khusus yang diperbolehkan melakukan
investasi dalam kepemilikan perusahaan, Al Musyarakah diterapkan dalam skema
modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu, dan
setelah itu bank melakukan disvestasi atau menjual sebagian sahamnya, baik
sekaligus maupun bertahap.
Al Musyarakah
c. Al Mudharabah
Al Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak
dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal,
sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi
menurut kesepakatan yang tertuang dalam kontrak, sedangkan apabila menderita
kerugian ditanggung oleh pemilih modal selama kerugian tersebut bukan
diakibatkan oleh kelalaian pengelola. Seandainya kerugian tersebut diakibatkan
karena kecurangan atau kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggung
jawab atas kerugian terbut.
Gambar 17.4
Al-Mudharabah
Sumber : Antonio
(1999:153)
Jenis-jenis Al Mudharabah yaitu :
1)
Mudharabah Muthlaqah
Adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib (pengelola)
yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha,
waktu, dan daerah bisnis.
2)
Mudharabah Muqayyadah
Adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang dibatasi
dengan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha.
Aplikasi mudharabah dalam perbankan syariah meliputi :
1)
Pada sisi penghimpunan dana,
mudharabah diterapkan untuk :
(a)
Tabungan berjangka, yaitu tabungan
yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban
dan sebagainya.
(b) Deposito biasa, dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk
bisnis tertentu.
2)
Pada sisi pembiayaan, mudharabah
diterapkan untuk :
(a)
Pembiayaan modal kerja, seperti
modal kerja untuk perdagangan dan jasa.
(b) Investasi khusus, yang disebut juga mudharabah muqayyah, dimana sumber dana khusus
dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul maal.
2.
Produk Penyaluran Dana
Produk-produk
penyaluran dana yang ditawarkan oleh bank syariah antara lain :
a. Jual Beli
1)
Bai’al Murabahah
Bai’al Murabahah adalah jual
beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam Bai’al Murabahah penjual harus
memberitahukan harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat
keuntungan sebagai imbalannya.
Bai’al Murabahah diterapkan
pada pembiayaan untuk pembelian barang-barang inventori, baik produksi maupun
konsumsi. Dalam hal ini bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah
sebagai pembeli. Bank dan nasabah harus menyepakati harga pokok, keuntungan dan
jangka waktu, kemudian bank membeli barang yang dipesan dan diberikan kepada
nasabah. Nasabah kemudian mengangsurnya sesuai harga dan jangka waktu yang
disepakati.
2)
Bai’as Salam
Bai’as Salam berarti pembelian
barang yang diserahkan di kemudian hari sementara pembayaran dilakukan di muka.
Bai’as Salam diterapkan untuk
pembiayaan pertanian jangka pendek, seperti tanaman cabai, padi dan sebagainya.
Di sini bank bertindak sebagai pembeli dan nasabah sebagai penjual. Bank
membayar harga yang disepakati di awal kontrak, sementara nasabah akan
mengirimkan barang yang dipesan setelah jatuh tempo. Ketika barang akan
dikirimkan oleh nasabah, bank dapat menjualnya kepada pihak lain dengan harga
yang lebih tinggi agar mendapat keuntungan.
Transaksi Bai’al Istishna
merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak
ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang kemudian
berusaha untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah
disepakati melalui orang lain dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah
pihak bersepakat atas harga dan sistem pembayaran, apakah dibayar dimuka,
melalui cicilan atau ditangguhkan sampai waktu tertentu.
Bai’al Istishna diterapkan
untuk pembiayaan konstruksi dan barang-barang manufaktur jangka pendek. Dalam
hal ini bank bertindak sebagai pemesan (pembeli), sedangkan nasabah bertindak
sebagai penjual atau pembuat. Bank dapat menyalurkan dana secara bertahap
sesuai dengan prinsip Bai’al Istishna.
Ketika barang pesanan telah selesai, bank dapat menjualnya secara cicilan
kepada nasabah lain untuk mendapatkan keuntungan.
Implementasi
produk-produk perbankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah di Indonesia dapat
dilihat pada jenis-jenis produk yang ditawarkan oleh Bank Muamalat Indonesia,
sebagaimana disajikan dalam Tabel 17.2
Tabel 17.2
Produk-produk Pembiayaan Bank Muamalat Indonesia
Jenis Produk
|
Definisi Teknis Perbankan
|
Implementasi di BMI
|
Ketentuan BI
|
Rekomendasi
|
1.
Murabahah
(Cost-Plus Financing)
|
Pembiayaan
berdasarkan perjanjian jual beli atas barang halal tertentu, dimana pemilik
barang (bank) akan menyerahkan barang seketika pembeli (nasabah) dengan
kelebihan/untuk yang disepakati bersama.
Apabila
pembayaran kewajiban dilakukan secara angsuran, disebut Bai Batsaman Ajil
|
Sudah
dilakukan
|
Kolektibilitas
belum diatur dalam SK DIR-BI No.30/27/KEP/DIR, 27 Februari 1998, namun diatur
dalam ketentuan Pedoman dan Pengawasan Bagi Hasil (PPBH-BI)
|
(PPBH-BI) perlu
diperbaharui
|
2.
Istishna
(Purchase with Specification)
|
Pembiayaan
kepada nasabah (produsen) atas adanya pesanan dari pihak lain (pembeli), di
mana pesanan tersebut ada kriteria khusus dan harga tertentu. Pembayaran
dilakukan secara progresif sesuai dengan kemajuan pekerjaannya (proyek)
|
Belum
dilakukan karena belum diatur dalam PPBH-BI
|
Belum diatur
dalam PPBH-BI
|
- Idem
- Untuk
project financing
|
Jenis Produk
|
Definisi Teknis Perbankan
|
Implementasi di BMI
|
Ketentuan BI
|
Rekomendasi
|
3.
Bai’ Salam
|
Pembiayaan
berdasarkan pesanan nasabah dan merupakan bagian dari istishna. Dalam Bai’
Salam, bank memberikan dana pembiayaan secara tunai diawal kepada pembuat
barang pesanan nasabah (produsen supplier). Barang yang dibeli masih berada
dalam tanggungan produsen dengan ciri-ciri yang telah ditentukan dan berlaku
umum.
|
Idem
|
Idem
|
PPBH-BI perlu diperbaharui
|
4.
Ijarah wa iqtina
(Lease and Hire Purchase)
|
Perjanjian
antara bank sebagai pemilik (yang menyewakan) dengan nasabah sebagai penyewa.
Penyewa menyetujui uang sewa selama masa sewa yang diperjanjikan. Dalam
perjanjian tersebut penyewa mempunyai komitmen akan membeli objek sewa tadi
bila masa sewa berakhir.
|
Idem
|
Dalam PPBH-BI
yang ada hanya ijarah, namun ada ketidak- jelasan bolehnya leasing dilakukan
oleh bank.
|
- Ijara
wa iqtina
- Karena
bila ijara saja akan merugikan bank (barang sewaan tidak dibeli)
|
Jenis Produk
|
Definisi Teknis Perbankan
|
Implementasi di BMI
|
Ketentuan BI
|
Rekomendasi
|
5.
Mudharabah
(Trust Financing)
|
Pembiayaan
kerjasama antara bank dengan pihak lain (nasabah) dalam suatu usaha yang
produktif dan halal serta dikelola oleh ahlinya. Pembiayaan diberikan 100%
sesuai nilai proyek dan penentuan di awal yang sesuai nisbah (porsi) yang
disepakati bersama.
|
Sudah
dilakukan
|
Kolektibilitas
belum diatur dengan tegas di PPBH-BI
|
Kolektibilitas =
kolektibilitas penyertaan
|
6.
Musyarakah
(Partnership Financing)
|
Kerjasama perkongsian
dana yang dilakukan oleh dua atau lebih anggota perkongsian dalam suatu usaha
yang dijalankan oleh pelaksana usaha, dimana pembagian keuntungan sesuai
dengan kesepakatan bersama. Pelaksanaan usaha boleh dilakukan oleh salah satu
dari masing-masing anggota penyerta dana atau boleh juga disepakati bersama.
Dalam penyertaan ini pemilik dana boleh melakukan intervensi manajemen usaha
tersebut.
|
Sudah
dilakukan
|
Idem
|
Idem
|
7.
Rahn
|
Perjanjian
utang piutang dengan memberikan barang yang bermanfaat sebagai jaminan utang.
Jaminan yang diberikan itu bisa berupa yang tidak aktual, seperti sertifikat.
Jaminan itu bisa dijual/dihargai dalam waktu
|
Belum
dilakukan, karena ketidak- jelasan
|
diatur dalam
PPBH-BI namun belum diatur secara terperinci, khususnya kebolehan
|
perbankan konvensional
telah melakukan hal
|
Jenis Produk
|
Definisi Teknis Perbankan
|
Implementasi di BMI
|
Ketentuan BI
|
Rekomendasi
|
|
yang disetujui
kedua belah pihak, karena utang tidak bisa dilunasi oleh nasabah.
|
kebolehan bank
melakukan kegiatan gadai
|
secara
eksplisit untuk melakukan kegiatan rahn (gadai)
|
tersebut, yaitu Flexi Home, Home Power, Flexican, dan Home
Invest. Oleh karena itu, Rahn sepatutnya diatur.
|
8.
Wakalah
|
Perjanjian
pemberian kuasa hukum yang bertindak untuk dan atas nama orang yang
diwakilinya dalam melakukan suatu tugas/transaksi selama waktu yang
ditentukan. Seperti dalam transaksi L/C, perwakilan melalui pengacara atau
jual beli.
|
Sudah
dilakukan
|
Diatur
PPBH-BI, belum diatur dalam SE/SK DIREKTUR BI
|
Perlu penyempurnaan aspek
teknis L/C, khususnya yang menyangkut terminologi
|
Jenis Produk
|
Definisi Teknis Perbankan
|
Implementasi di BMI
|
Ketentuan BI
|
Rekomendasi
|
9.
Kafalah
|
Perjanjian
pemberian jaminan yang diberikan oleh satu pihak ke pihak lain. Pihak pemberi
jaminan penjamin bertanggungjawab atas pembayaran kembali kewajiban nasabah
(yang mendapatkan utang) atau pelaksana prestasi tertentu yang menjadi hak
penerima jaminan.
|
Sudah
dilakukan
|
Idem
|
Fasilitas bank garansi
|
10.
Bai’ Al-Dayn
|
Jual beli
utang tanpa mengurangi nilai utang tersebut. Untung yang didapat dari jual
beli adalah berasal dari keuntungan atas utang tersebut.
|
Sudah
dilakukan
|
Idem
|
Perlu penyempurnaan
khususnya pemenuhan aspek bukti underlying
transaction
|
11.
Hawalah
|
Perjanjian
pemindahan hak/kewajiban yang dilakukan pihak
I kepada pihak II untuk menuntut pembayaran utang dari/membayar kepada
pihak III, karena pihak III berutang kepada pihak I. Atau pihak I berutang
kepada pihak III dan pihak II berutang kepada pihak I
|
Belum
dilakukan
|
Idem
|
Factoring anjak piutang
|
Jenis Produk
|
Definisi Teknis Perbankan
|
Implementasi di BMI
|
Ketentuan BI
|
Rekomendasi
|
12.
Reksadana
Syariah
|
Penyertaan
dalam unit reksadana equity dan
obligasi bagi hasil untuk investasi-investasi yang dibenarkan oleh syariah.
Contohnya, antara lain :
-
Perusahaan dengan produk/jasa hotel
-
Rasio pendapatan bunga terhadap total pendapatan maksimal 15%
-
Debt equity
ratio
maksimal 30%
|
Belum
dilakukan
|
Belum diatur.
Perbankan konvensional hanya diperbolehkan investasi di reksadana fixed iincome
|
Perlu diatur batasan
investasi pada reksadana syariah
|
b. Produk Jasa
Di samping produk-produk pembiayaan, bank syariah juga
mempunyai produk-produk jasa atau pelayanan yang berdasarkan akad syariah,
yaitu :
1) Wakalah
Prinsip
perwakilan yang diterapkan dalam bank syariah dimana bank bertindak sebagai
wakil dan nasabah sebagai pemberi mandat (muwakil).
Prinsip ini diterapkan untuk pengiriman uang atau transfer, penagihan dan letter of credit (L/C). Sebagai imbalan
bank mendapatkan fee atas jasanya
terhadap nasabah.
2) Kafalah
Prinsip peminjaman dimana bank bertindak sebagai penjamin (kafil) sedangkan nasabah sebagai pihak
yang dijamin (makfulah). Sebagai
imbalan bank mendapatkan bayaran atas jasanya terhadap nasabah.
Aplikasi
dalam perbankan biasanya digunakan untuk membuat garansi atas suatu proyek (performance bonds), partisipasi dalam
tender (tender bonds), atau
pembayaran lebih dulu (advance payment
bonds).
3) Hawalah
Prinsip
penagihan utang, dimana bank bertindak sebagai penerima pengalihan piutang (muhal’alaih) dan nasabah bertindak
sebagai pengalih piutang (muhil).
Sebagai imbalan bank memperoleh upah pengalihan dari nasabah.
Aplikasi
dalam perbankan, hawalah diterapkan pada fasilitas tambahan kepada nasabah
pembiayaan yang ingin menjual produknya kepada pembeli dengan jaminan
pembayaran dari pembeli tersebut dalam bentuk giro mundur (post dated check).
4) Rahn
Ar Rahn terbagi menjadi dua,
yaitu :
a.
Sebagai jaminan pembiayaan, bank
menyertai pembiayaan kepada nasabah yang dimungkinkan diambil jaminan seperti bai’al Murabahah dan bai’as Salam. Dalam hal ini bank tidak
menahan jaminan secara fisik, tetapi hanya surat-suratnya saja.
b.
Sebagai produk, bank dapat
menerima jaminan dan menahannya, misalnya dalam bentuk emas dan barang kecil
yang bernilai lainnya untuk pinjaman yang diberikan dalam jangka pendek.
5) Qardh
Diterapkan untuk pinjaman kepada nasabah yang mengelola usaha sangat
kecil. Untuk pembiayaan ini dananya diambilkan dari dana sosial seperti zakat,
infaq dan shadaqoh. Jika nasabah mengalami musibah dan tidak dapat
mengembalikan, maka bank dapat membebaskannya.
Tentunya menarik untuk melihat sejauhmana bank syariah berperan dalam
membiayai sektor-sektor ekonomi di Indonesia. Tabel 17.3 menyajikan peranan
bank syariah dalam pendanaan sektor-sektor ekonomi di Indonesia.
Tabel
17.3
Pendanaan
Sektor Ekonomi oleh Bank Syariah
Bank
|
Perdagangan
|
Pertanian
|
Industri
|
Jasa
|
Lain-lain
|
Muamalat
|
18,00%
|
2,00%
|
28,00%
|
42,00%
|
10,00%
|
Baituniaga
|
NA
|
NA
|
NA
|
NA
|
NA
|
Berkah
Gema
|
48,00%
|
0,00%
|
0,00%
|
8,00%
|
44,00%
|
Berkah
Amal
|
63,40%
|
1,85%
|
5,69%
|
15,57%
|
13,49%
|
Dana
Mardati
|
61,89%
|
1,72%
|
9,60%
|
20,61%
|
6,18%
|
Dana
Tijarah
|
75,90%
|
1,30%
|
3,50%
|
14,10%
|
2,20%
|
Inti
Raqqat
|
33,00%
|
2,00%
|
0,50%
|
57,50%
|
7,00%
|
Artha
Karima
|
70,00%
|
0,00%
|
10,00%
|
15,00%
|
5,00%
|
Amanah
Ummah
|
54,00%
|
3,90%
|
9,40%
|
13,90%
|
18,40%
|
Bangun
Drajat
|
44,80%
|
4,10%
|
14,70%
|
12,70%
|
23,70%
|
Hareukat
|
44,32%
|
3,64%
|
4,30%
|
8,13%
|
39,61%
|
Mentari
|
90,79%
|
0,52%
|
4,71%
|
1,27%
|
2,71%
|
Babussalam
|
40,00%
|
20,00%
|
30,00%
|
5,00%
|
5,00%
|
Baiturrahman
|
50,00%
|
20,00%
|
10,00%
|
15,00%
|
5,00%
|
Baiturrida
|
55,05%
|
3,39%
|
9,28%
|
19,01%
|
13,01%
|
Ikhwanul
Ummah
|
35,00%
|
50,00%
|
10,00%
|
5,00%
|
0,00%
|
Saleh
Artha
|
82,00%
|
1,50%
|
4,00%
|
10,00%
|
2,50%
|
Qiradh
|
70,20%
|
0,60%
|
1,20%
|
23,00%
|
5,00%
|
Sumber : Arifin (1999:177)
Dari produk yang ditawarkan oleh bank syariah dan “dibeli” oleh
masyarakat pengguna di Indonesia masih kecil, dibandingkan dengan produk bank
konvensional. Berdasarkan data yang ada, terlihat bahwa dilihat dari sisi
pangsa dana pihak ketiga, pembiayaan dan Financial
Deepening (kredit/GDP) dari tahun 1997 hingga tahun 1999, kontribusi bank
syariah masih kalah jauh disbanding bank konvensional (lihat Tabel 17.4)
Tabel
17.4
Pangsa
Bank Syariah vs Bank Konvensional
Aspek
Peran
|
Jenis
Bank
|
Tahun
|
||
1997
|
1998
|
1999
|
||
Dari pihak ketiga
|
Bank Syariah
|
0,10%
|
0,05%
|
0,07%
|
|
Bank Konvensional
|
99,90%
|
99,95%
|
99,93%
|
Dana Pembiayaan
|
Bank Syariah
|
0,10%
|
0,08%
|
0,17%
|
|
Bank Konvensional
|
99,90%
|
99,92%
|
99,83%
|
Financial
Deepening
|
Bank Syariah
|
0,03%
|
0,004%
|
0,001%
|
|
Bank Konvensional
|
0,08%
|
0,05%
|
0,11%
|
Sumber : Karim (2001:32)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Pemikir
Islam telah banyak menyumbangkan pemikiran terhadap ilmu ekonomi, justru ketika
Eropa berada dalam “Abad Kegelapan “, jauh sebelum kelahiran buku Adam Smith.
2. Kritik
utama ekonomi Islam terhadap ilmu ekonomi modern adalah kecenderungan bebas
nilai (value free) dan amoral (Ahmad,
1981; 1992). Ini besar kemungkinan diakibatkan : Pertama, karena ilmu ekonomi
cenderung berbicara pada dataran positif (positive
economics) untuk menjaga objektifitas ilmu namun amat sering dilanda
kritis. Kedua, model dan masyarakat ekonomi yang dikembangkan selama 2 abad
terakhir berada dalam tradisi sekularisme Barat. Ketiga, tradisi pemikiran
Neo-Klasik cenderung menempatkan fasafah individualisme (maksimilisasi kepuasan
dan maksimisasi laba), naturalisme (percaya dengan mekanisme pasar sebagai invisible hand), dan utilitarianisme
sebagai dasar penyusunan teori dan modelnya.
3. Riba
menurut istilah bahasa Arab berarti tambahan, peningkatan, ekspansi atau
pertumbuhan (Homoud, 1994). Menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan
tambahan {premium) sebagai syarat yang harus dibayarkan oleh peminjam kepada
pemberi pinjaman selain pinjaman pokok. Dalam hal ini, riba memiliki arti yang
sama dengan bunga sebagaimana konsensus para fuqaha.
4. Riba
menurut Islam dibedakan menjadi dua, yaitu Riba Nasi’ah dan Riba Fadhl.
5. Islam
melarang riba karena ketidakadialan yang melekat didalamnya. Alternatifnya,
Islam menawarkan berbagai bentuk transaksi alternatif, yang syarat dijiwai oleh
fikih muamalah.
6. Produk
penghimpunan dana pada bank syariah meliputi: Wadiah, Al Musyarakah, dan Al
Mudharabah.
7. Produk
penyaluran dana yang ditawarkan bank syariah meliputi:
§ Jual
Beli : Bai’al Murabahah, Bai’as Salam, Ba’i al Istishna
§ Produk
Jasa : Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn, Qardh
B. Saran
Pemerintah Indonesia hendaknya
lebih memperbanyak jumlah Bank Sayriah di Indonesia, dikarenakan penduduknya
mayoritas penduduk Indonesia yang mayoritas muslim. Selain itu hendaknya para
pelaku ekonomi syariah harus giat mensosialisasikan manfaat menabung di bank
syariah dan menggunakan jasa-jasa perbankan syariah agar bank syariah semakin
berkembang di Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Kuncoro,
Mudrajad & Suhardjono. 2011. Manajemen
Perbankan Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar