BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Suatu produksi tidak akan berjalan
lancar tanpa adanya factor-faktor produksi yang mendukung. Ada 4 faktor yang
penting adalah tanah, tenaga kerja, modal dan manajemen. Keempat-empatnya
sangat berperan dalam kelangsungan produksi tanpa adanya tanah, tenaga kerja,
modal dan manajemen maka produksi tidak berjalan dengan efektif.
Demikian halnya tenaga kerja
merupakan salah satu factor produksi yang penting. Keberadaan tenaga kerja
tidak boleh begitu saja dikesampingkan yang harus diperhatikan kesehatan dan
kesejahteraannya. Hal yang tidak bisa lepas begitu saja dari tenaga kerja
adalah upah. Penentuan upah merupakan salah satu penentu efisien atau tidaknya
kerja seorang tenaga kerja seperti yang sering terjadi di Indonesia sekarang
tidak sedikit perusahaan yang menghentikain aktifitas produksinya karena para
karyawan berdemo menuntut kenaikan upah.
Olek karena itu perlu di perhatikan
standar upah agar memberikan kerugian kepada kedua belah pihak yaitu pihak
perusahaan dan karyawan, seperti yang terjadi pada masa Rasulullah SAW dan pada
masa kekholifahan. Jika para pekerja tidak mendapatkan upah yang adil dan
wajar, ini tidak hanya akan mempengaruhi daya beli dan taraf hidup para serta
keluarganya, Dengan demikian secara ekonomi sangat berbahaya bagi suatu Negara
jika menghapuskan hak tenaga kerja atas pembagian deviden.
Penetapan
upah minimum bagi pekerja adalah salah satu persoalan penting dalam
ketenagakerjaan di Indonesia sampai sekarang, karena hal itu tidak dihitung
dengan mekanisme atau sistem yang jelas. Dalam penetapan upah minimal pekerja
di Indonesia salah satunya adalah didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (di
samping produktivitas dan pertumbuhan ekonomi) para pekarja yang telah
mengalami dua kali perubahan yaitu pertama penetapan upah minimum yang
didasarkan pada Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) yang kedua didasarkan pada
Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Perubahan – perubahan tersebut dikarenakan tidak
sesuainya lagi penetapan upah berdasarkan kebutuhan fisik minimum, maka
timbullah perubahan yang disebut dengan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Namun
penetapan upah berdasarkan Kebutuhan Hidup Minimum mendapat koreksi yang cukup
besar dari pekerja, karena akan berimplikasi pada lemahnya daya beli dan kesejahteraan
masyarakat terutama para pekerja tingkat bawah.
Agama Islam memberikan pedoman bagi kehidupan manusia dalam bidang
perekonomian tidak memberikan landasan yang bersifat praktis, berapa besarnya
upah yang harus diberikan kepada buruh untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengambil tema
analisisis fiqih tentang upah dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
dapat dirumuskan masalah dari makalah ini adalah:
1.
Apa
yang dimaksud dengan upah dan apa saja dasar hukum Islam mengenai upah?
2.
Apa
saja bentuk dan syarat upah?
3.
Bagaimana
pengertian upah menurut Akad Ijarah?
4.
Bagaimana
dasar dan Prinsip Pengupahan menurut Islam?
5.
Bagaimana
tingkatan pengupahan menurut Islam?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas,
maka tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.
Mengetahui
tentang upah dan dasar hukum upah menurut Islam
2.
Mengetahui
bentuk dan syarat upah menurut Islam
3.
Mengetahui tentang upah berdasarkan akad ijarah
4.
Mengetahui
dasar dan Prinsip Pengupahan menurut Islam
5.
Mengetahui
tingkatan pengupahan menurut Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Upah dan Dasar Hukum Upah dalam Islam
1.
Definisi Upah
Upah dalam bahasa Arab sering
disebut dengan ajrun/ajrān yang berarti memberi hadiah/ upah. Kata ajrān
mengandung dua arti, yaitu balasan atas pekerjaan dan pahala. Sedangkan
upah menurut istilah adalah uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai balas
jasa atau bayaran atas tenaga yang telah dicurahkan untuk mengerjakan sesuatu.
Upah diberikan sebagai balas jasa atau penggantian kerugian yang diterima oleh
pihak buruh karena atas pencurahan tenaga kerjanya kepada orang lain yang
berstatus sebagai majikan.
Menurut Afzalurrahman memberikan
pengertian bahwa upah merupakan sebagian harga dari tenaga (pekerjaan) yang
dibayarkan atas jasanya dalam produksi. Sedangkan menurut Undang-Undang
Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan upah adalah hak pekerja/buruh yang
diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau
pemberi kerja (majikan) kepada buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut
suatu perjanjian kerja, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan
bagi pekerja atau buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang
telah atau akan dilakukannya.
Peraturan pemerintah No. 8 Tahun
1981 tentang perlindungan upah memberikan definisi bahwa upah adalah suatu
penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha atau majikan kepada tenaga kerja atau
pekerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan,
dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu
perjanjian atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu
perjajian kerja antara pengusaha atau majikan (pemberi kerja) dan pekerja
termasuk tunjangan baik untuk pekerja sendiri maupun untuk keluarganya.
Berdasarkan pada beberapa pendapat
di atas, dapat memberikan pengertian dan pemahaman bahwa upah merupakan nama
bagi sesuatu yang baik berupa uang atau bukan yang lazim digunakan sebagai
imbalan atau balas jasa, atau sebagai penggantian atas jasa dari pekerjaan yang
telah dikeluarkan oleh pihak majikan kepada pihak pekerja atau buruh.
2.
Dasar Hukum Upah
Sumber
hukum dalam Islam yang dipakai dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang
terjadi adalah dengan menggunakan al-Qur’an dan Sunah Nabi, di samping masih
banyak lagi sumber hukum yang dapat digunakan. al- Qur’an sebagai sumber hukum
dasar yang menjadi pijakannya.
Allah
menegaskan tentang imbalan ini dalam Qur’an sbb :
“Dan
katakanlah : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang
mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah
Yang Mengetahui akan ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa
yang kamu kerjakan.” (At Taubah : 105).
Dalam
menafsirkan At Taubah ayat 105 ini, Quraish Shihab menjelaskan dalam kitabnya
Tafsir Al-Misbah sbb :
“Bekerjalah
Kamu, demi karena Allah semata dengan aneka amal yang saleh dan bermanfaat,
baik untuk diri kamu maupun untuk masyarakat umum, maka Allah akan melihat
yakni menilai dan memberi ganjaran amal kamu itu”
Tafsir
dari melihat dalam keterangan diatas adalah menilai dan memberi ganjaran
terhadap amal-amal itu. Sebutan lain daripada ganjaran adalah imbalan
atau upah atau compensation.
“Barang
siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala
yang lebih baik apa yang telah mereka kerjakan.” (An
Nahl : 97).
Dalam
menafsirkan At Nahl ayat 97 ini, Quraish Shihab menjelaskan dalam kitabnya
Tafsir Al-Misbah sbb :
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, apapun jenis
kelaminnya, baik laki-laki maupun perempuan, sedang dia adalah mukmin yakni
amal yang dilakukannya lahir atas dorongan keimanan yang shahih, maka
sesungguhnya pasti akan kami berikan kepadanya masing-masing kehidupan
yang baik di dunia ini dan sesungguhnya akan kami berikan balasan kepada
mereka semua di dunia dan di akherat dengan pahala yang
lebih baik dan berlipat ganda
dari apa yang telah mereka kerjakan“.
Tafsir
dari balasan dalam keterangan diatas adalah balasan di dunia dan di
akherat. Ayat ini menegaskan bahwa balasan atau imbalan bagi mereka yang
beramal saleh adalah imbalan dunia dan imbalan akherat. Amal Saleh
sendiri oleh Syeikh Muhammad Abduh didefenisikan sebagai segala perbuatan yang
berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok dan manusia secara keseluruhan.
Sementara menurut Syeikh Az-Zamakhsari, Amal Saleh adalah segala perbuatan yang
sesuai dengan dalil akal, al-Qur’an dan atau Sunnah Nabi Muhammad Saw.
Menurut Defenisi Muhammad Abduh dan Zamakhsari
diatas, maka seorang yang bekerja pada suatu badan usaha (perusahaan) dapat
dikategorikan sebagai amal saleh, dengan syarat perusahaannya tidak
memproduksi/menjual atau mengusahakan barang-barang yang haram. Dengan
demikian, maka seorang karyawan yang bekerja dengan benar, akan menerima dua
imbalan, yaitu imbalan di dunia dan imbalan di akherat.
“Sesungguhnya
mereka yang beriman dan beramal saleh tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan
pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan baik.” (Al
Kahfi : 30).
Berdasarkan
tiga ayat diatas, yaitu At-Taubah 105, An-Nahl 97 dan
Al-Kahfi 30, maka Imbalan dalam konsep Islam menekankan pada dua aspek, yaitu
dunia dan akherat. Tetapi hal yang paling penting, adalah bahwa penekanan
kepada akherat itu lebih penting daripada penekanan
terhadap dunia (dalam
hal ini materi) sebagaimana semangat dan jiwa Al-Qur’an surat
Al-Qhashsash ayat 77.
Surat
At Taubah 105 menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kita untuk bekerja, dan
Allah pasti membalas semua apa yang telah kita kerjakan. Yang paling unik dalam
ayat ini adalah penegasan Allah bahwa motivasi atau niat bekerja itu mestilah
benar. Sebab kalau motivasi bekerja tidak benar, Allah akan membalas
dengan cara memberi azab. Sebaliknya, kalau motivasi itu benar, maka Allah akan
membalas pekerjaan itu dengan balasan yang lebih baik dari apa yang kita
kerjakan (An-Nahl : 97).
Lebih
jauh Surat An-Nahl : 97 menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan gender dalam
menerima upah / balasan dari Allah. Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada
diskriminasi upah dalam Islam, jika mereka mengerjakan pekerjaan yang
sama. Hal yang menarik dari ayat ini, adalah balasan Allah langsung di
dunia (kehidupan yang baik/rezeki yang halal) dan balasan di akherat (dalam
bentuk pahala).
Sementara
itu, Surat Al-Kahfi : 30 menegaskan bahwa balasan terhadap pekerjaan yang telah
dilakukan manusia, pasti Allah balas dengan adil. Allah tidak akan
berlaku zalim dengan cara menyia-nyiakan amal hamba-Nya. Konsep keadilan
dalam upah inilah yang sangat mendominasi dalam setiap praktek yang pernah
terjadi di negeri Islam.
Lebih
lanjut kalau kita lihat hadits Rasulullah saw tentang upah yang diriwayatkan
oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda :
“ Mereka
(para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah
asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus
diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian
seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan
tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu,
maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).
Dari
hadits ini dapat didefenisikan bahwa upah yang sifatnya materi (upah di dunia)
mestilah terkait dengan keterjaminan dan ketercukupan pangan dan sandang.
Perkataan : “harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan
memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri)” , bermakna bahwa upah
yang diterima harus menjamin makan dan pakaian karyawan yang menerima upah.
Dalam
hadits yang lain, diriwayatkan dari Mustawrid bin Syadad Rasulullah s.a.w
bersabda :
“Siap
yang menjadi pekerja bagi kita, hendaklah
ia mencarikan isteri (untuknya); seorang
pembantu bila tidak memilikinya, hendaklah ia
mencarikannya untuk pembantunya. Bila ia tidak mempunyai tempat tinggal,
hendaklah ia mencarikan tempat tinggal. Abu Bakar mengatakan: Diberitakan
kepadaku bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Siapa yang mengambil sikap selain
itu, maka ia adalah seorang yang keterlaluan atau pencuri.” (HR. Abu
Daud).
Hadits
ini menegaskan bahwa kebutuhan papan (tempat tinggal) merupakan kebutuhan azasi
bagi para karyawan. Bahkan menjadi tanggung jawab majikan juga untuk mencarikan
jodoh bagi karyawannya yang masih lajang (sendiri). Hal ini ditegaskan
lagi oleh Doktor Abdul Wahab Abdul Aziz As-Syaisyani dalam kitabnya Huququl
Insan Wa Hurriyyatul Asasiyah Fin Nidzomil Islami Wa Nudzumil Ma’siroti bahwa
mencarikan istri juga merupakan kewajiban majikan, karena istri adalah kebutuhan
pokok bagi para karyawan.
Sehingga
dari ayat-ayat Al-Qur’an di atas, dan dari hadits-hadits di atas, maka
dapat didefenisikan bahwa : Upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas
pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (Adil dan Layak) dan
dalam bentuk imbalan pahala di akherat (imbalan yang lebih baik).
B.
Bentuk dan Syarat Upah
1.
Bentuk-bentuk upah
Sesuai dengan pengertiannya bahwa upah bisa berbentuk uang yang dibagi
menurut ketentuan yang seimbang, tetapi upah dapat berbentuk selain itu. Adapun
upah dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu upah dalam bentuk uang dan upah
dalam bentuk barang.
Taqiyyudin
an-Nabhani mengatakan bahwa upah dapat dibedakan menjadi:
a.
Upah
(ajrun) musamma, yaitu upah yang telah disebutkan dalam
perjanjian dan dipersyaratkan ketika disebutkan harus disertai adanya kerelaan
kedua belah pihak dengan upah yang telah ditetapkan tersebut, tidak ada unsur
paksaan.
b.
Upah
(ajrun ) misl’ yaitu upah yang sepadan dengan kondisi
pekerjaannya, baik sepadan dengan jasa kerja maupun sepadan dengan pekerjaannya
saja.
2.
Syarat-syarat upah
Adapun syarat-syarat upah, Taqiyyudin an-Nabhani memberikan kriteria
sebagai berikut:
a.
Upah
hendaklah jelas dengan bukti dan ciri yang bisa menghilangkan ketidakjelasan dan
disebutkan besar dan bentuk upah.
b.
Upah
harus dibayarkan sesegera mungkin atau sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan dalam akad.
c.
Upah
tersebut bisa dimanfaatkan oleh pekerja untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya
dan keluarganya (baik dalam bentuk uang atau barang atau jasa).
d.
Upah
yang diberikan harus sesuai dan berharga. Maksud dari sesuai adalah sesuai
dengan kesepakatan bersama, tidak dikurangi dan tidak ditambahi. Upah harus
sesuai dengan pekerjaan yang telah dikerjakan, tidaklah tepat jika pekerjaan
yang diberikan banyak dan beraneka ragam jenisnya, sedangkan upah yang
diberikan tidak seimbang. Sedangkan berharga maksudnya adalah upah tersebut
dapat diukur dengan uang.
e.
Upah
yang diberikan majikan bisa dipastikan kehalalannya, artinya barang-barang
tersebut bukanlah baring curian, rampasan, penipuan atau sejenisnya.
f.
Barang
pengganti upah yang diberikan tidak cacat, misalnya barang pengganti tersebut
adalah nasi dan lauk pauk, maka tidak boleh diberikan yang sudah basi atau
berbau kurang sedap.
C.
Upah dalam Akad Ijarah
1. Pengertian Ijarah
Secara
bahasa Ijarah adalah bentuk mashdar sima’i dari
kata kerja
yang berarti
memberi hadiah atau upah atas sebuah pekerjaan, sedangkan dalam istilah fiqh
muamalah, terdapat beberapa pengertian ijarah, yang secara
umum sama atau saling melengkapi. Madzhab syafi’i mendefinisikan ijarah
sebagai akad atas menfaat yang mubah dan jelas, mungkin untuk di berikan
kepada orang lain dengan upah tertentu.
Kalangan Malikiyah mendefinisikan ijarah
dengan singkat bahwa ijarah adalah akad pemindahan
kepemilikan manfaat barang dalam waktu tertentu dengan membayarkan ganti,
demikian ini pula definisi ijarah menurut kalangan Hanabilah.
Berdasarkan pengertian ini, dalam
akad ijarah, obyek akad adalah berupa kegunaan barang yang jelas
dan tertentu, akad ijarah tidak sah bila terjadi pada barang yang
habis ketika dimanfaatkan, juga pada bentuk jasa atau pekerjaan yang tidak
jelas.
Madzhab Maliki dan Hambali
memberikan pengertian ijarah sebagai pemindahan hak milik atas
kegunaan barang yang mubah selama masa tertentu dengan upah. Dalam definisi ini
disebutkan syarat batasan waktu ijarah.
2.
Pembagian Ijarah
Ijarah
dibagi menjadi dua macam ; ijarah atas kegunaan barang dan ijarah
atas pekerjaan
a.
Ijarah Kegunaan Barang
Ijarah ini
disebut ijarah ‘ala al-a’yan, biasa terjadi dalam masyarakat,
biasa disebut akad sewa, dalam ijarah ini yang menjadi obyek akad
adalah kegunaan barang pemenuh kebutuhan, seperti menyewa rumah untuk
dimanfaatkan sebagai hunian, kendaraan untuk dimanfaatkan sebagai sarana
transportasi dan lain sebagainya. Kegunaan yang boleh ditransaksikan adalah
kegunaan yang mubah menurut Islam, adapun kegunaan yang haram tidak boleh diijarahkan.
Seperti menyewakan gedung atau bangunan yang akan difungsikan sebagai gereja,
sebab pemanfaatan semacam ini tentu saja tidak diperkenankan oleh Islam
b.
Ijarah Pekerjaan
Ijarah ini
disebut juga ijarah ‘ala al-a’mal, obyek dalam ijarah
ini adalah jasa pekerjaan orang lain, seperti pekerjaan membangun rumah,
menjahit pakaian atau pekerjaan-pekerjaan lain.
Seperti halnya ijarah ‘ain
yang mensyaratkan halalnya manfaat, dalam ijarah amal juga
disyaratkan halalnya pekerjaan menurut Islam, sehingga pekerjaan yang dilarang
Islam tidak boleh diupah. Seperti mengupah seseorang untuk mencuri, membunuh
atau merampok.
Disamping pembagian ijarah
seperti yang telah diterangkan sebelumnya, ada pembagian ijarah lain
yang sedikit berbeda, pembagian ijarah ini terdapat dalam madzhab
Syafi’i, adapun pembagian ijarah munurut mazhab Syafi’i sebagai
berikut :
a.
Ijarah ‘Ain, adalah ijarah atas kegunaan barang
yang sudah tertentukan, dalam ijarah ini ada tiga syarat yang
harus dipenuhi, pertama; barang yang disewakan sudah tertentu, sebagai pembanding,
tidak sah menyewakan salah satu dari dua rumah tanpa menentukan rumah yang
dimaksud. Kedua; barang yang disewakan harus disaksikan oleh kedua belah pihak
pada waktu akad, atau sebelum akad dengan catatan barang tersebut tidak
diperkirakan rusak atau berubah. Ijarah ini oleh madzhab syafii
dianggap identik dengan akad jual beli barang.
b.
Ijarah _immah, adalah ijarah atas jasa
atau manfaat yang ditanggung oleh pemilik, seperti menyewa mobil dengan tujuan
kota tertentu, dalam hal ini jasa yang diakadkan menjadi tanggungan pemilik mobil.
Akad ini dalam madzhab Syafi’i hampir sama dengan akad pesanan
(salam). Yang harus diperhatikan dalam ijarah ini adalah upah
atau ongkos harus dibayar di muka, sama seperti akad pesanan.
3. Rukun dan
Syarat Ijarah
Dalam melaksanakan akad ijarah, haruslah dipenuhi rukun-rukunnya
terlebih dahulu, apabila salah satu ruku tidak dapat dipenuhi maka akad batal demi
hukum.
Adapun rukun ijarah ada 4, yaitu:
a.
Dua
orang yang berakad
b.
Shighat akad, yang
menyatakan ijab dan qabul
c.
Upah
(Ajrun)
d.
Manfaat
Dalam akad ijarah ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi, secara umum, syarat-syarat tersebut terbagi menjadi 4, yaitu (1)
Syarat terjadinya Ijarah (2) Syarat Sah Ijarah (3)
Syarat tetap hukum ijarah, dan (4) Syarat berlakunya ijarah,
masing-masing syarat tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :
a.
Syarat
terjadinya ijarah
Yang
dimaksud dengan syarat ini adalah syarat yang harus terpenuhi sehingga akad ijarah
dapat dilaksanakan, syarat ini dalam istilah fiqh disebut Syarat In’iqad.
Syarat tersebut adalah akad ijarah dilakukan oleh orang
berakal. Imam Syafi’i berpendapat bahwa orang yang melakukan akad syaratnya
adalah mukallaf yaitu baligh dan berakal, tidak disyaratkan bagi orang
yang berakad itu beragama Islam, sehingga diperbolehkan akad dengan non muslim
atau sebaliknya.
b.
Syarat
sah Ijarah
Adalah
syarat yang harus dipenuhi sehingga akad ijarah dinyatakan sah, syarat-syarat
tersebut adalah :
1)
Adanya
kerelaan dari dua belah pihak yang berakad,
Akad dilaksanakan berdasarkan suka sama suka, Sebagaimana firman
Allah SWT dalam surat An Nisa (4) :9, yang berbunyi
2)
Manfaat
atau jasa yang disepakati harus dijelaskan guna menghindari perselisihan.
3)
Manfaat
atau jasa yang disepakati dalam akad harus benar-benar mungkin untuk dipenuhi
secara syar’i.
4)
Manfaat atau
jasa yang disepakati dalam akad adalah mubah menurut syara’ dan bermanfaat bagi
dirinya dan masyarakat.
5)
Pekerjaan yang
dijanjikan bukan merupakan suatu kewajiban pekerja sebelum pelaksanaan akad
6)
Pekerja tidak
boleh mengambil manfaat (secara langsung) dari pekerjaan yang dilaksanakan.
c.
Syarat tetap
hukum ijarah
atau
dalam literatur fiqh sering disebut Syarat luzum akad adalah
syarat yang harus dipenuhi sehingga kesepakatan dalam akad ijarah memiliki
ketetapan untuk diberlakukan, syarat-syarat ini yaitu:
1)
Akad
hendaknya merupakan akad shahih.
2)
Terhindarnya
obyek akad dari kerusakan-kerusakan setelah diambil manfaatnya.
3)
Tidak
terdapat cacat terhadap pekerja maupun pengelola perusahaan.
d. Syarat
berlakunya ijarah,
syarat ini disebut juga Syarat Nufudz, yang mensyaratkan dalam akad ijarah adanya hak milik
dan kekuasaan atas manfaat atau jasa, sebagai contoh, barang yang disewakan
oleh orang lain tanpa seizin pemiliknya, maka ijarah ini tidak boleh
diberlakukan.
4. Pembagian
Kerja
Pekerja yang disebut ajir, dalam akad ijarah dibagi menjadi
dua, yaitu:
a. Ajir
khas atau ajir
wahad adalah orang yang bekerja kepada seseorang dalam
jangka waktu tertentu, ketentuan pekerja ini adalah tidak boleh bekerja kepada
selain orang yang mempekerjakannya.
b. Ajir
musytarak atau ajir
‘am,
adalah pekerja yang bekerja untuk kepentungan umum, atau bisa dikatakan ajir musytarak adalah
orang yang bekerja pada bidang kerja tertentu seperti tukang jahit, binatu dan sebagainya,
pekerjaan ini untuk semua orang dengan upah tertentu sebagai imbalan atas
kerjanya.
5. Hak dan Kewajiban Pekerja
Islam dalam mengatur hak dan
kewajiban terhadap pekerja tidak memeberikan penjelasan dan ketentuan yang
rinci secara tekstual baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunah, akan tetapi ada
ketentuan-ketentuan secara umum yang mengisyaratkan kepada pihak majikan untuk
memberikan hak dan kewajibannya kepada pihak buruh. Hak dan kewajiban ini harus
dilaksanakan oleh kedua belah pihak yang telah mengikatkan dirinya dalam akad
untuk dapat terpenuhinya kebutuhan kedua belah pihak tersebut.
a.
Hak
Pekerja
1)
Berhak
memperoleh pekerjaan sesuai dengan kemampuannya
2)
Berhak
atas upah sesuai dengan yang diperjanjikan, bagi ajīr khas hak atas upah
ditekankan pada kehadirannya menyerahkan diri untuk melaksanakan pekerjaan. Sedangkan
bagi ajīr musytarak hak atas upah ditekankan pada selesainya pekerjaan.
b.
Kewajiban
Pekerja
1)
Melaksanakan
sendidri pekerjaan yang diperjanjikan
2)
Melaksanakan
sendiri sesuai dengan waktu yang diperjanjikan atau kesepakatan
3)
Melaksanakan
pekerjaan dengan tekun, cermat, dan teliti
4)
Menjaga
keselamatan barang yang dipercayakan kepadanya
5)
Mengganti
kerugian barang yang diakibatkan karena kelalaian, kesengajaan
D. Dasar dan
Prinsip Pengupahan
1.
Dasar pengupahan
Dalam Islam secara konseptual yang
menjadi dasar penetapan upah adalah dari jasa pekerja, bukan tenaga yang
dicurahkan dalam pekerjaan. Apabila upah ditetapkan berdasarkan tenaga yang
dicurahkan, maka upah buruh kasar bangunan akan lebih tinggi dari pada arsitek
yang merancang bangunan tersebut. Selain itu dalam penetapan upah dapat
didasarkan pada tiga asas, yaitu asas keadilan, kelayakan dan kebajikan.
Dalam menetapkan upah, menurut Yusuf
al-Qaradawi ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu nilai kerja dan kebutuhan
hidup. Nilai kerja menjadi pijakan penetapan upah, karena tidak mungkin
menyamaratakan upah bagi buruh terdidik atau buruh yang tidak mempunyai
keahlian, sedangkan kebutuhan pokok harus diperhatikan karena berkaitan dengan kelangsungan
hidup buruh.
Sedangkan Afzalurrahman mengatakan
bahwa upah akan ditentukan melalui negoisasi di antara para pekerja (buruh),
majikan (pengusaha) dan negara. Kepentingan pengusaha dan pekerja akan
diperhitungkan dengan adil sampai pada keputusan tentang upah. Tugas negara
adalah memastikan bahwa upah ditetapkan dengan tidak telalu rendah sehingga
menafikan kebutuhan hidup para pekerja atau buruh, tetapi tidak juga terlalu
tinggi sehingga menafikan bagian si pengusahadari hasil produk bersamanya.
2.
Prinsip-prinsip pengupahan
Islam menawarkan suatu penyelesaian
yang baik atas masalah upah dan menyelamatkan kepentingan dua belah pihak,
yakni buruh dan pengusaha. Dalam hal ini ada beberapa hal yang harus dipenuhi
berkaitan dengan persoalan yaitu prinsip keadilan, kelayakan, dan kebajikan.
a.
Prinsip
keadilan
Seorang pengusaha tidak diperkenankan bertindak kejam terhadap buruh
dengan menghilangkan hak sepenuhnya dari bagian mereka. Upah itetapkan dengan
cara yang paling tepat tanpa harus menindas pihak manapun, setiap pihak
memperoleh bagian yang sah dari hasil kerja sama mereka tanpa adanya
ketidakadilan terhadap pihak lain. Upah kerja minimal dapat memenuhi kebutuhan
pokok dengan ukuran taraf hidup lingkungan masyarakat sekitar. Keadilan berarti
menuntut upah kerja yang seimbang dengan jasa yang diberikan buruh.
Dalam hal keadilan, Azhar Basyir menyarankan terpenuhinya dua model
keadilan dalam pemberian upah pada huruh, yaitu: 1) keadilan disributif
menuntut agar para huruh yang mengerjakan pekerjaan yang sama dengan kemampuan
kadar kerja yang berdekatan, al-Qur`an memperoleh imbalan atau upah yang sama
tanpa memperhatikan kebutuhan perorangan dan keluarganya. 2) keadilan harga
kerja, menuntut pada para buruh untuk memberikan upah yang seimbang dengan tenaga
yang diberikan tanpa dipengaruhi oleh hukum penawaran dan permintaan yang
menguntungkan pemilik perusahaan.
Adil mempunyai bermacam-macam makna, di antaranya sebagai berikut:
1)
Adil bermakna jelas dan transparan
Sebagaimana firman Allah SWT:
“Berbuat adillah, karena adil itu
lebih dekat kepada Taqwa”.
(QS. Al-Maidah : 8).
“Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bemua’malah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya
dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana
Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada
hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.
Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka di panggil;
dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil
maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil
di sisi Allah dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah
mua’malahmu itu), kecuali jika mua’malah itu perdagangan tunai yang kamu
jalankan di antara kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah
apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling
sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya
hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah :
282)
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang
demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan
haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” (QS.
Al-Maidah : 1).
Dan dalam hadist berikut ini :
“Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan
beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan”. (HR.
Baihaqi).
Dari tiga ayat Al-Qur’an dan hadits
riwayat Baihaqi di atas, dapat diketahui bahwa prinsip utama keadilan terletak
pada Kejelasan aqad (transaksi) dan komitmen melakukannya. Aqad
dalam perburuhan adalah aqad yang terjadi antara pekerja dengan
pengusaha. Artinya, sebelum pekerja dipekerjakan, harus jelas dahulu
bagaimana upah yang akan diterima oleh pekerja. Upah tersebut meliputi besarnya
upah dan tata cara pembayaran upah. Khusus untuk cara pembayaran upah,
Rasulullah bersabda :
“Dari Abdillah bin Umar, Rasulullah Saw. Bersabda: “Berikanlah upah
orang upahan sebelum kering keringatnya“.
(HR. Ibnu Majah dan Imam Thabrani).
Dalam menjelaskan hadits itu, Syeikh
Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Pesan Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam,
menjelaskan sebagai berikut :
Sesungguhnya seorang pekerja hanya
berhak atas upahnya jika ia telah menunaikan pekerjaannya dengan semestinya dan
sesuai dengan kesepakatan, karena umat Islam terikat dengan syarat-syarat antar
mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram. Namun, jika ia membolos bekerja tanpa alasan yang benar atau
sengaja menunaikannya dengan tidak semestinya, maka sepatutnya hal itu
diperhitungkan atasnya (dipotong upahnya) karena setiap hak dibarengi dengan
kewajiban. Selama ia mendapatkan upah secara penuh, maka
kewajibannya juga harus dipenuhi. Sepatutnya hal ini dijelaskan secara
detail dalam “peraturan kerja” yang menjelaskan masing-masing hak dan kewajiban
kedua belah pihak.
Dari penjelasan Syeikh Qardhawi
diatas, dapat dilihat bahwa upah atau gaji merupakan hak karyawan selama
karyawan tersebut bekerja dengan baik. Jika pekerja tersebut tidak benar dalam
bekerja (yang dicontohkan oleh Syeikh Qardhawi dengan bolos tanpa alasan yang
jelas), maka gajinya dapat dipotong atau disesuaikan. Hal ini menjelaskan
kepada kita bahwa selain hak karyawan memperoleh upah atas apa yang diusahakannya,
juga hak perusahaan untuk memperoleh hasil kerja dari karyawan dengan baik.
Bahkan Syeikh Qardhawi mengatakan bahwa bekerja yang baik merupakan
kewajiban karyawan atas hak upah yang diperolehnya, demikian juga, memberi upah
merupakan kewajiban perusahaan atas hak hasil kerja karyawan yang
diperolehnya. Dalam keadaan masa kini, maka aturan-aturan bekerja yang
baik itu, dituangkan dalam buku Pedoman Kepegawaian yang ada di masing-masing
perusahaan. Hadits lain yang menjelaskan tentang pembayaran upah ini adalah :
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad Saw. bahwa
beliau bersabda: “Allah telah berfirman: “Ada tiga jenis manusia dimana Aku
adalah musuh mereka nanti di hari kiamat. Pertama, adalah orang yang membuat
komitmen akan memberi atas nama-Ku (bersumpah dengan nama-Ku), kemudian ia
tidak memenuhinya. Kedua, orang yang menjual seorang manusia bebas (bukan
budak), lalu memakan uangnya. Ketiga, adalah orang yang menyewa seorang upahan
dan mempekerjakan dengan penuh, tetapi tidak membayar upahnya” (HR. Bukhari).
Hadits-hadits diatas menegaskan
tentang waktu pembayaran upah, agar sangat diperhatikan. Keterlambatan
pembayaran upah, dikategorikan sebagai perbuatan zalim dan orang yang tidak
membayar upah para pekerjanya termasuk orang yang dimusuhi oleh Nabi saw pada
hari kiamat. Dalam hal ini, Islam sangat menghargai waktu dan sangat menghargai
tenaga seorang karyawan (buruh).
Yusuf al-Qardawi dalam kitabnya Pesan
Nilai dan Moral dalam Perekonorrnan Islam, menjelaskan sebagai berikut:
Sesungguhnya seorang pekerja hanya berhak atas upahnya jika ia telah
menunaikan pekerjaanya dengan semestinya dan sesuai dengan kesepakatan, karena
umat Islam terikat dengan syarat-syarat antar mereka kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Namun, jika ia membolos
bekerja tanpa alasan yang benar atau sengaja menunaikannya dengan tidak
semestinya, maka sepatutnya hal itu diperhitungkan atasnya (dipotong upahnya) karena
setiap hak dibarengi dengan kewajiban. Selama ia mendapatkan upah secara penuh,
maka kewajibannya juga harus dipenuhi. Sepatutnya hal ini dijelaskan secara
detail dalam "peraturan.kerja" yang rnenjelaskan masing-masing hak
dan kewajiban kedua belah pihak.
Berdasarkan penjelasan al-Qaradawi
di atas, dapat dilihat bahwa upah atau gaji merupakan hak pekerja, apabila
bekerja dengan baik, jika pekerja tersebut tidak benar dalam bekerja yang dicontohkan
oleh Syaikh al-Qaradawi dengan tidak
bekerja tanpa alasan yang jelas maka gajinya dapat dipotong atau disesuaikan.
Hal ini menjelaskan bahwa selain hak
pekerja, maka pekerja memperoleh upah atas apa yang diusahakannya, juga hak perusahaan
untuk memmperoleh hasil kerja dari pekerja dengan baik. Bahkan al-Qardawi
mengatakan bahwa bekerja dengan baik merupakan kewajiban pekerja/ pekerja atas
hak upah yang diperolehnya. Demikian juga, memberi upah merupakan kewajiban
perusahaan atas hak hasil kerja pekerja pekerja yang, diperolehnya. Dalam
keadaan masa kini, maka aturan-aturan bekerja yang baik itu dituangkan dalam
buku Pedoman Kepegawaian yang ada di masing-masing perusahaan.
2)
Adil bermakna proporsional
Prinsip adil secara proposional ini disebutkan dalam beberapa
firman Allah SWT, sebagai berikut:
“Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka
kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan
mereka sedang mereka tiada dirugikan.” (QS.
Al-Ahqaf : 19).
“Dan kamu tidak dibalas, melainkan dengan apa yang telah kamu
kerjakan.” (QS. Yaasin : 54).
“Bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya.” (QS. An-Najm :
39).
Ayat-ayat di atas, menegaskan bahwa pekerjaan seseorang akan dibalas
menurut berat pekerjaannya itu. Upah adalah hak dan bukan pemberian sebagai
hadiah. Upah hendaklah proporsional, sesuai dengan kadar kerja atau hasil
produksi dan dilarang adanya eksploitasi.
Bila tenaga kerja merupakan faktor utama dalam produksi, maka selayaknya
ia memperoleh imbalan yang lebih manusiawi. Pemenuhan kebutuhan dasar manusia
merupakan Sistem dasar pengupahan manusiawi, baru setelah itu dikombinasikan
dengan unsur yang lainnya.
b.
Prinsip kelayakan
Kelayakan menuntut agar upah kerja cukup untuk memenuhi kebutuhan
hidup minimum secara layak, Adapun layak mempunyai makna sebagai berikut:
1)
Layak bemakna cukup pangan, sandang, dan papan.
Jika ditinjau dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa
Rasulullah s.a.w bersabda :
“Mereka
(para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah
asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus
diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian
seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan
tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu,
maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).
Dalam hadits lain yang diriwayatkan
oleh Mustawrid bin Syadad Rasulullah Saw. bersabda:
“Aku
mendengar Nabi Muhammad saw bersabda : „Siapa yang menjadi pekerja bagi
kita, hendaklah ia mencarikan istri untuknya; ; seorang pembantu bila tidak
memilikinya, hendaklah ia mencarikannya untuk pembantunya. . Bila ia
tidak mempunyai tempat tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal.
Abu Bakar mengatakan:
Diberitakan
kepadaku bahwa Nabi Muhammad bersabda : Siapa yang mengambil sikap selain
itu, maka ia adalah seorang yang keterlaluan atau pencuri” (HR
Abu Daud).
Dari dua hadits diatas, dapat
diketahui bahwa kelayakan upah yang diterima oleh pekerja dilihat dari 3 aspek
yaitu : Pangan (makanan), Sandang (Pakaian) dan papan (tempat tinggal).
Bahkan bagi pegawai atau karyawan yang masih belum menikah, menjadi tugas
majikan yang mempekerjakannya untuk mencarikan jodohnya. Artinya,
hubungan antara majikan dengan pekerja bukan hanya sebatas hubungan pekerjaan
formal, tetapi karyawan sudah dianggap merupakan keluarga majikan. Konsep
menganggap karyawan sebagai keluarga majikan merupakan konsep Islam yang lebih
14 abad yang lalu telah dicetuskan.
Konsep ini dipakai oleh
pengusaha-pengusaha Arab pada masa lalu, dimana mereka (pengusaha muslim)
seringkali memperhatikan kehidupan karyawannya di luar lingkungan
kerjanya. Hal inilah yang sangat jarang dilakukan saat ini. Wilson menulis
dalam bukunya yang berjudul Islamic Business Theory and Practice yang
artinya kira-kira “walaupun perusahaan itu bukanlah perusahaan keluarga, para
majikan Muslimin acapkali memperhatikan kehidupan karyawan di luar lingkungan
kerjanya, hal ini sulit untuk dipahami para pengusaha Barat“. Konsep
inilah yang sangat berbeda dengan konsep upah menurut Barat. Konsep upah
menurut Islam, tidak dapat dipisahkan dari konsep
moral. Mungkin sah-sah saja jika gaji seorang pegawai di
Barat sangat kecilkarena pekerjaannya sangat remeh (misalnya cleaning
service). Tetapi dalam konsep Islam, meskipun cleaning service,
tetap faktor LAYAK menjadi pertimbangan utama dalam menentukan berapa upah yang
akan diberikan.
2)
Layak bermakna sesuai dengan pasaran
Dalam Firman Allah SWT sebagai
berikut:
“Dan janganlah kamu merugikan manusia akan hak-haknya dan janganlah
kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.” (QS. Asy-Syua’ra 26 : 183).
Ayat di atas bermakna bahwa
janganlah seseorang merugikan orang lain, dengan cara mengurangi hak-hak yang
seharusnya diperolehnya. Dalam pengertian yang lebih jauh, hak-hak dalam upah bermakna
bahwa janganlah memperkerjakan seseorang jauh di bawah upah yang biasanya
diberikan.
c.
Prinsip kebajikan
Sedangkan kebajikan berarti menuntut
agar jasa yang diberikan mendatangkan keuntungan besar kepada. buruh supaya.
bisa diberikan bonus. Dalam
perjanjian kedua belah pihak diperingatkan untuk bersikap jujur dan adil dalam
semua urusan mereka, sehingga tidak terjadi tindakan aniaya yang merugikan
kepentingan pengusaha dan buruh. Penganiayaan terhadap buruh berarti bahwa
mereka tidak dibayar secara adil dan bagian yang sah dari hasil kerjasama
sebagai jatah dari hasil kerja buruh. Sedangkan yang dimaksud dengan
penganiayaan terhadap pengusaha adalah mereka dipaksa buruh untuk membayar upah
buruh melebihi dari kemampuan mereka.
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa untuk mempertahankan upah pada
suatu standar yang wajar, Islam memberikan kebebasan sepenuhnya dalam mobilitas
tenaga kerja sesuai dengan perjanjian yang disepakati (akad). Mereka bebas
bergerak untuk mencari penghidupan di bagian mana saja di dalam negaranya.
Tidak ada pembatasan sama sekali terhadap perpindahan mereka dari satu daerah
ke daerah lainnya di negara tersebut guna mencari upah yang lebih tinggi.
Metode
kedua yang dianjurkan oleh Islam dalam menentukan standar upah di seluruh
negeri adalah dengan benar-benar memberi kebebasan dalam bekerja. Setiap orang
bebas memilih pekerjaan apa saja yang sesuai dengan pilihannya serta tidak ada
pembatasan yang mungkin dapat menciptakan kesulitan-kesulitan bagi para pekerja
dalam memilih pekerjaan atau daerah kerjanya yang sesuai.
E. Tingkatan
dalam Pemberian Upah
Dalam
hal tingkatan dalam pemberian upah, ada beberapa faktor yang menyebabkan
perbedaannya dalam kehidupan berbisnis, di antaranya mengacu pada bakat dan
keterampilan seorang pekerja. Adanya pekerja intelektual dan pekerja kasar atau
pekerja yang handal dengan pekerja yang tidak handal, mengakibatkan upah
berbeda tingkatannya. Selain itu perbedaan upah yang timbul karena perbedaan
keuntungan yang tidak berupa uang karena ketidaktahuan atau kelambanan dalam
bekerja dan masih banyak lagi faktor-laktor lainnya.
Mengenai
perbedaan upah, Islam mengakui adanya berbagai tingkatan pekerja. Hal tersebut
dikarenakan adanya perbedaan kemampuan dan bakat yang dimiliki masing-masing
pekerja. Adapun dalil yang dipergunakan sebagai landasannya adalah firman Allah
SWT dalam Surat An Nisa ayat 32
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi
orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para
wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah
sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu. (4: 32)
Berdasarkan
prinsip keadilan upah dalam Islam ditetapkan kesepakatan antara majikan dan
pekerja dengan menjaga kepentingan keduanya, Mengingat posisi pekerja atau buruh
yang lemah, maka Islam memberikan perhatian dengan menetapkan tingkat upah
minimum bagi pekerja sesuai dengan prinsip kelayakan dari upah. Upah itu
menjadi tanggunggung jawab Negara untuk mempertimbangkan tingkat upah agar
tidak terlalu rendah sehingga kebutuhan pekerja tidak tercukupi, namun juga
tidak terlalu tinggi sehingga kehilangan bagian dari hasil kerjasama itu.
Tingkat upah
minum ditentukan dengan memperhatikan perubahan kebutuhan dari pekerja golongan
bawah, sehingga dalam kondisi apapun tingkat upah ini tidak akan jatuh.
Perkiraaan besarnya upah diukur besarnya berdasarkan kadar jasa yang diberikan
tenaga kerja, berdasrkan kesepakatan dari orang yang bertransaksi dan
adakalanya ditentukan oleh para ahli sesuai dengan manfaat serta waktu yang
tepat dimana pekerjaan itu dilakukan. Sehingga pada suatu saat akan mengalami
revisi sesuaia dengan tuntutan jaman.
1. Tingkat upah
minimum
Pekerja dalam
hubungannya dengan majikan berada dalam posisi yang sangat lemah. Selalu ada
kemungkinan kepentingan para pekerja tidak dilindungi dengan baik. Mengingat
posisinya yang lemah itu, Islam memberikan perhatian dalam melindungi hak para
pekerja dari segala gangguan yang dilakukan oleh majikannya (pengusaha). Oleh
karena itu untuk melindungi kepentingana dari pelanggaran hak perlu ditentukan
upah minimum yang dapat mencakup kebutuhan pokok hidup, termasuk makanan,
pakaian, tempat tinggal dan lainya, sehingga pekerja akan memperoleh kehidupan
yang layak. Penyediaan kebutuhan pokok ini dapat disebutkan dalam firman Allah
SWT dalam surat Thaha ayat 118-119:
"Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan
makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai,
dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang
yang zalim.”(Surat Thaha ayat 118-119)
Kata
'tazmau' berarti menginginkan sesuatu dengan sangat atau sangat merindukannya;
tampaknya ini menandakan bahwa kata 'tazmau' tidak saja mengacu pada haus
karena ingin minum, tetapi juga merasa haus akan pendidikan dan bantuan media.
Dengan demikian adalah tugas negara untuk memberikan pelayanan umum atau
menetapkan upah minimum pada suatu tingkat yang membuat mereka (pekerja) mampu
memenuhi kebutuhannya.
Dengan
demikian berdasarkan ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian yang
terkandung tidak sekedar kebutuhan lahir saja. Tetapi mereka harus mendapatkan
pendidikan dan berbagai fasilitas pengobatan. Sehingga apabila upah dikaitkan
dengan apa yang telah difasilitaskan atau sesuai kebutuhan minimalnya adalah
sangat tidak tepat karena akan menghalangi pekerja untuk menikmati kebidupan
yang layak menurut ukuran masyarakat.
Negara
mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu memperhatikan agar setiap pekerja
memperoleh upah yang cukup untuk mempertahankan suatu tingkat kebidupan yang
wajar serta tidak memperbolehkan upah di bawah tingkat minimum. Tingkat upah
minimum ini harus selalu dipantau dan sewaktu-waktu direvisi kembali untuk melakukan
penyesuaian tingkat harga dan biaya hidup dalam masyarakat.
2. Tingkat upah
tertinggi
Bakat
dan keterampilan seorang pekerja merupakan salah satu faktor upahnya tinggi
atau tidak. Pekerja yang intelektual dengan pekerja kasar, atau pekerja yang
handal dengan pekerja yang tidak handal, mengakibatkan upah berbeda
tingkatanya.Selain itu perbedaan upah timbul karena perbedaan keuntungan yang
tidak berupa uang, karena ketidaktahuan atau kelambanan dalam bekerja, dan
masih banyak lagi faktor-faktor lainnya. Oleh karena itu, Islam memang tidak
memberikan upah berada di bawah upah minimum yang telah ditetapkan, demikian
halnya Islam juga tidak membolehkan kenaikan upah melebihi tingkat tertentu
melebihi sumbangsih dalam produksinya. Oleh karena itu, tidak perlu terjadi
kenaikan upah yang melampaui batas tertinggi dalam penentuan batas maksimum
upah tersebut. Setidak-tidaknya upah dapat memenuhi kebutuhan pokok pekerja dan
keluarga agar tercipta keadilan dan pemerataan kesejahteraan.
Pentingnya
menjaga upah agar tetap berada pada batas-batas kewajaran agar masyarakat tidak
cenderung menjadi pengkonsumsi semua barang konsumsi. Gambaran tentang batas
upah tertinggi dapat dilihat pada ayat al-Qur'an berikut ini:
“dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya”(QS An Najm (53:39)
dalam ayat
lainnya juga disebutkan:
Apa
yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan
sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.(QS An Nahl 96)
Ayat
di atas, menjelaskan bahwa upah yang dituntut oleh para pekerja dari majikan
harus sesuai dengan apa yang telah usahakannya, bersama kegiatan-kegiatan
manusia yang berhubungan dengan ketenagakerjaan. Sudah menjadi kewajiban bagi
setiap majikan untuk memberikan upah yang baik dan cukup bagi Para pekerjanya
agar mereka dapat menikmati kehidupan yang menyenangkan.
Berdasarkan
uraian di atas dapatlah disimpulkan hahwa batasan mengenai upah tertinggi
adalah sesuai dengan apa yang telah dikerjakan. Adapun besarya tingkat upah
maksimum pekerja akan bervariasi berdasarkan jasa yang disumbangkan dalam
produksi.
3. Tingkat upah
sebenarnya
Islam
telah menyediakan usaha pengamanan untuk melindungi hak majikan dan pekerja.
Jatuhnya upah di bawah tingkat upah minimum atau naiknya upah melebihi batas
upah maksimum seharusnya tidak terjadi. Upah yang sesungguhnya akan berubah
dengan sendirinya berdasarkan hukum penawaran dan permintaan tenaga kerja, yang
sudah tentu dipengaruhi oleh standar hidup pekerja, kekuatan efektif dari
organisasi pekerja, serta sikap para
majikan yang mencerminkan keimanan mereka terhadap balasan Allah SWT.
Sebagai
hasil interaksi antara kedua kekuatan antara majikan dan buruh, maka upah akan
berada di antara upah minimum dan maksimum yang mengacu pada taraf hidup yang
lazim serta kontribusi yang telah diberikan para pekerja. Jika pada suatu waktu
upah minimum jatuh di bawah tingkat minimum ataupun sebaliknya, maka negara
berhak melakukan campur tangan dan menetapkan upah sesuai dengan kebutuhan saat
itu.
Sehingga
dapat disimpulkan bahwa tingkat upah sebenarnya akan berkisar antara kedua
batas upah berdasarkan hukum persediaan dan penawaran tenaga kerja dan
dipengaruhi oleh standar hidup sehari-hari kelompok kerja, sebagai hasilnya
tingkat upah minimum dan maksimum akan ditetapkan berdasarkan standar hidup
kelompok pekerja dan tetap merangkak naik sesuai dengan naiknya standar hidup
tersebut.
BAB
III
KESIMPULAN
1)
Upah
dalam bahasa Arab sering disebut dengan ajrun/ajrān yang berarti memberi
hadiah/ upah. Kata ajrān mengandung dua arti, yaitu balasan atas
pekerjaan dan pahala. Sedangkan upah menurut istilah adalah uang dan sebagainya
yang dibayarkan sebagai balas jasa atau bayaran atas tenaga yang telah
dicurahkan untuk mengerjakan sesuatu. Upah diberikan sebagai balas jasa atau
penggantian kerugian yang diterima oleh pihak buruh karena atas pencurahan
tenaga kerjanya kepada orang lain yang berstatus sebagai majikan.
2)
Berdasarkan
tiga ayat Al Quran, yaitu At-Taubah 105, An-Nahl 97 dan
Al-Kahfi 30, maka Imbalan dalam konsep Islam menekankan pada dua aspek, yaitu
dunia dan akherat. Tetapi hal yang paling penting, adalah bahwa penekanan
kepada akherat itu lebih penting daripada penekanan
terhadap dunia (dalam hal
ini materi) sebagaimana semangat dan jiwa Al-Qur’an surat Al-Qhashsash
ayat 77.
3)
Sesuai
dengan pengertiannya bahwa upah bisa berbentuk uang yang dibagi menurut
ketentuan yang seimbang, tetapi upah dapat berbentuk selain itu. Adapun upah
dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu upah dalam bentuk uang dan upah dalam
bentuk barang.
Taqiyyudin
an-Nabhani mengatakan bahwa upah dapat dibedakan menjadi:
· Upah (ajrun) musamma, yaitu upah yang telah
disebutkan dalam perjanjian dan dipersyaratkan ketika disebutkan harus disertai
adanya kerelaan kedua belah pihak dengan upah yang telah ditetapkan tersebut,
tidak ada unsur paksaan.
· Upah (ajrun ) misl’ yaitu upah yang sepadan dengan
kondisi pekerjaannya, baik sepadan dengan jasa kerja maupun sepadan dengan
pekerjaannya saja
4)
Adapun
syarat-syarat upah, Taqiyyudin an-Nabhani memberikan kriteria sebagai berikut:
· Upah hendaklah jelas dengan bukti dan ciri yang bisa menghilangkan
ketidakjelasan dan disebutkan besar dan bentuk upah.
· Upah harus dibayarkan sesegera mungkin atau sesuai dengan waktu
yang telah ditentukan dalam akad.
· Upah tersebut bisa dimanfaatkan oleh pekerja untuk memenuhi
kebutuhan kehidupannya dan keluarganya (baik dalam bentuk uang atau barang atau
jasa).
· Upah yang diberikan harus sesuai dan berharga. Maksud dari sesuai
adalah sesuai dengan kesepakatan bersama, tidak dikurangi dan tidak ditambahi.
Upah harus sesuai dengan pekerjaan yang telah dikerjakan, tidaklah tepat jika
pekerjaan yang diberikan banyak dan beraneka ragam jenisnya, sedangkan upah
yang diberikan tidak seimbang. Sedangkan berharga maksudnya adalah upah
tersebut dapat diukur dengan uang.
· Upah yang diberikan majikan bisa dipastikan kehalalannya, artinya
barang-barang tersebut bukanlah baring curian, rampasan, penipuan atau
sejenisnya.
· Barang pengganti upah yang diberikan tidak cacat, misalnya barang
pengganti tersebut adalah nasi dan lauk pauk, maka tidak boleh diberikan yang
sudah basi atau berbau kurang sedap.
5)
Madzhab
syafi’i mendefinisikan ijarah sebagai akad atas menfaat yang
mubah dan jelas, mungkin untuk di berikan kepada orang lain dengan upah
tertentU. Ijarah dibagi menjadi dua macam ; ijarah atas
kegunaan barang dan ijarah atas pekerjaan
6)
Dalam
menetapkan upah, menurut Yusuf al-Qaradawi ada dua hal yang perlu diperhatikan
yaitu nilai kerja dan kebutuhan hidup. Nilai kerja menjadi pijakan penetapan
upah, karena tidak mungkin menyamaratakan upah bagi buruh terdidik atau buruh
yang tidak mempunyai keahlian, sedangkan kebutuhan pokok harus diperhatikan
karena berkaitan dengan kelangsungan hidup buruh.
7)
Mengenai
perbedaan upah, Islam mengakui adanya berbagai tingkatan pekerja. Hal tersebut
dikarenakan adanya perbedaan kemampuan dan bakat yang dimiliki masing-masing
pekerja. Adapun dalil yang dipergunakan sebagai landasannya adalah firman Allah
SWT dalam Surat An Nisa ayat 32
Dan
janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian
kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada
bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada
bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari
karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (4:
32)
DAFTAR RUJUKAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar