Wikipedia

Hasil penelusuran

Minggu, 01 Februari 2015

MAKALAH BANK TANPA BUNGA



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Disadari atau tidak, kita kini hidup dan menikmati sistem kapitalisme global. Jargon “globalisasi” sering digunakan sebagai eufemisme atas kapitalisme global. Sistem kapitalisme global ditopang oleh tangan-tangan perusahaan multinasional, dengan alokasi sumber daya yang didasarkan atas mekanisme pasar, dan diakuinya hak-hak milik individu. Boleh dikata, jaringan perbankan global merupakan jantungnya. Dalam sistem semacam ini, bunga ( interest ) ibarat darahnya perekonomiaan. Sayangnya sistem kapitalisme berbasis bunga ini ternyata rentan terhadap krisis. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia, dan negara Asia lainnya, telah memporakporandakan sistem perbankan dan seluruh sendi-sendi perekonomian. Industri perbankan yang tengah dilanda krisis agaknya membutuhkan “obat” yang non-konvensional dan tidak sekadar menelan “obat generik” yang dianjurkan IMF.
Para pengatur “bank tanpa bunga” berangkat dari adanya kesadaran bahwa “sesuatu” yang salah dalam sistem yang dianut selama ini. Tidak adanya nilai-nilai Illahiyah yang melandasi operasional perbankan dan lembaga keuangan dituding sebagai salah satu sumber krisis. Bank tanpa bunga diilhami oleh para pemikiran Islam dan ahli fikih (hukum Islam) yang berkeyakinan Islam adalah suatu sistem yang utuh dan terpadu yang diyakini mampu menjawab tantangan zaman.
 Makalah ini mula-mula akan menguraikan mengenai sejarah pemikiran ekonomi islam. Dilanjutkan dengan paradigma ekonomi Islam, polemik apakah riba sama dengan bunga, bank tanpa bunga menurut kacamata Islam, perkembangan bank syariah di Indonesia, dan memahami produk bank syariah.

B.      Rumusan Masalah
Dari latar belakang masala di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.     Bagaimana sejarah pemikiran ekonomi Islam?
2.     Bagaimana paradigma ekonomi Islam?
3.     Apakah bunga sama dengan riba dan apa sajakah jenis-jenis riba?
4.     Apa dan bagaimana bank tanpa bunga?
5.     Apa saja produk bank syariah?

C.      Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas, dapat dituliskan tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.     Untuk mengetahui tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam.
2.     Untuk mengetahui tentang paradigma ekonomi Islam.
3.     Untuk mengetahui apakah bunga sama dengan riba dan apa sajakah jenis-jenis riba.
4.     Untuk mengetahui tentang bank tanpa bunga.
5.     Untuk mengetahui tentang produk bank syariah.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
Sejarah mencatat ilmu ekonomi sebenarnya merupakan ilmu yang relatif baru. Bila buku Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of Wealth of Nations yang terbit tahun 1776 dianggap sebagai tonggak lahirnya ilmu ekonomi, maka ilmu ekonomi baru berumur 235 tahun. Dibanding ilmu matematika kedokteran, kimia, fisika, astronomi, boleh di kata ilmu ekonomi  merupakan ilmu yang relatif muda. Namun, barangkali tidak banyak yang tahu bahwa para pemikir Islam telah banyak menyumbangkan pemikiran terhadap ilmu ekonomi, justru ketika Eropa berada dalam “Abad Kegelapan “, jauh sebelum kelahiran buku Adam Smith.
Siddiqi (1992) telah mencoba mengidentifikasi sejarah pemikiran ekonomi Islam dalam tiga tahap. Tahap pertama, yaitu empat setenggah abad setelah Hijriah (sampai tahun 1058 M/450 H), tradisi intelektual muslim ditandai dengan munculnya para pelopor hukum Islam (fuqaha), yang diikuti oleh para ahli sufi dan ahli filsafat Islam. Tahap kedua, antara tahun 1058-1446 M, merupakan fase perkembangan pemikiran ekonomi Islam. Saat itu dilatarbelakangi dengan menjamurnya korupsi dan dekadensi moral, kenaikan kesenjangan antara si kaya dan miskin, namun ekonomi berada dalam taraf kemakmuran. Para pemikir Islam yang menonjol saat itu adalah Abu Hamid al Ghazali (1055-1111M) dari Khurasan, Taqiuddin Ibnu Taymiyah (1263-1328 M) dari Damaskus, dan Ibnu Khaldun (1332-1404 M) dari Maghrib. Al Ghazali, selain dianggap pelopor tasawwuf, memperkaya khasanah pemikiran Islam lewat pembagian kerja, evolusi uang, dan menjelaskan dilarangnya Riba-al-Fadl. Sumbangan utama Ibnu Taymiyah adalah dalam bidang Fikih dan pemurnian akidah, berbagai jenis bagi hasil (misal mudharabah), manajemen uang, kontrol harga bila perlu, peranan permintaan dan penawaran dalam menentukan harga, dan analisis beban pajak tidak langsung. Fokus perhatian Ibnu Khaldu adalah pada pasang surutnya suatu dinasti, dan siklus kemiskinan, dan kemakmuran. Penjelasan Ibnu Khaldun mengapa suatu negara dapat makmur sedang yang lain tidak, jelas lebih awal dibanding analisis Adam Smith mengenai sebab-sebab kemakmuran suatu bangsa maupun analisis Gunnar Myrdal mengenai sebab-sebab kemiskinan. Sumbangan utama Khaldun dalam ilmu ekonomi adalah pembagian kerja, perdagangan internasional, dan keuangan negara.
Tahap ketiga adalah 1446-1932 M, yang ditandai dengan menurunkan pemikiran independen, bahkan cenderung terjadi stagnasi pemikiran. Kendati demikian, beberapa pemikiran maupun tokoh reformis mengajak kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah, seperti Shah Wali-Ulllah (1703-1762), Mohammad bin Abdul Wahab (1787), Jamaluddin Afghani (1897), Mufti Muhammad Abduh (1905), dan Muhammad Iqbal (1938).
Agaknya missing link antara pemikiran ahli-ahli ekonomi Islam dengan realitas dunia modern diakibatkan setidaknya oleh dua hal : Pertama, periode penurunan, bahkan stagnasi, tradisi intelektual yang terjadi pasca jatuhnya Baghdad (tahun 1258 M), di mana pemikiran orisional dan kreatif tidak dianjurkan; Kedua, selama dua abad terakhir banyak negara Islam dijajah oleh negara-negara Eropa (Ahmad dan Awan, 1992: 5).

B.  Paradigma Ekonomi Islam
Kritik utama ekonomi Islam terhadap ilmu ekonomi modern adalah kecenderungan bebas nilai (value free) dan amoral (Ahmad, 1981; 1992). Ini besar kemungkinan diakibatkan : Pertama, karena ilmu ekonomi cenderung berbicara pada dataran positif (positive economics) untuk menjaga objektifitas ilmu namun amat sering dilanda kritis. Kedua, model dan masyarakat ekonomi yang dikembangkan selama 2 abad terakhir berada dalam tradisi sekularisme Barat. Ketiga, tradisi pemikiran Neo-Klasik cenderung menempatkan fasafah individualisme (maksimilisasi kepuasan dan maksimisasi laba), naturalisme (percaya dengan mekanisme pasar sebagai invisible hand), dan utilitarianisme sebagai dasar penyusunan teori dan modelnya.
Dalam sistem ekonomi kapitalis, ilmu ekonomi adalah studi mengetahui aktivitas ekonomi manusia, teruma manusia sebagai homo economicus, di mana perilakunya didorong oleh kelangkaan sumberdaya untuk mencapai tujuan tertentu. Manusia ekonomi diasumsikan rasional dalam segala perilakunya. Namun rasional di sini diartikan secara sempit, yaitu rasional yang egoistik karena dalam segara tindak tanduknya manusia dibimbing oleh kepentingan pribadi, baik memaksimalkan kepuasan maupun keuntungan.
Konsep Islam mengenai rasionalitas tidak menyangkal bahwa kepentingan pribadi merupakan salah satu penentu perilaku manusia, namun kepentingan pribadi ini dikendalikan dengan mengkaitkannya dengan tanggung jawab pribadi dan sosial, serta moralitas secara umum. Rasionalitas ekonomi dan kepentingan pribadi harus beroperasi dalam kerangka moral dan hukum, sesuai yang dituntunkan oleh Syariah. Karena itu, ekonomi Islam mencoba memasukkan konsep yang terlupakan dalam ilmu ekonomi seperti benar dan salah, adil dan tidak adil, dan sebagainya. Dengan kata lain, kerangka Islam memasukkan unsur nilai ke dalam analisis ekonomi.
Paradigma yang digunakan dalam ekonomi Islam adalah keadilan sosial dan ekonomi sebagai tujuan utama (QS¹². 57: 25). Oleh karena itu, tidak seperti paradigma pasar dalam teori ekonomi konvensional yang memaksimalkan kekayaan dan konsumsi, melainkan menekankan perlunya kebutuhan material dan spiritual. Kebutuhan spiritual tidak hanya dipuaskan dengan doa, namun juga terpenuhinya perilaklu individu dan sosial sesuai ajaran Islam (syariah). Kendati demikian, diperlukan filter moral dalam paradigma ini bagi alokasi dan distribusi sumberdaya tidak berarti ditolaknya peranan harga dan pasar. Tujuan utama ekonomi Islam, pada gilirannya, merupakan realisasi kesejahteraan manusia melalui aktulisasi ajaran Islam. Dalam konteks inilah dapat dipahami adanya beberapa definisi ekonomi Islam sebagai berikut :
“ Ekonomi Islam adalah ilmu dan aplikasi petunjuk dan aturan Syariah yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh dan menggunakan sumberdaya material agar memenuhi kebutuhan manusia dan agar dapat menjalankan kewajibannya kepada Allah dan masyarakat.” (Hasanuzzaman, 1984: 52)
“Ekonomi Islam adalah ilmu sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat dalam perspektif nilai-nilai Islam.” (Maman, 1986: 18)
Ekonomi Islam adalah “suatu upaya sistematik untuk memahami masalah ekonomi dan perilaku manusia yang berkaitan dengan masalah itu dari perspektif Islam”. (Ahmad, 1992: 19)
Ekonomi Islam adalah “tanggapan pemikir-pemikir muslim terhadap tantangan ekonomi pada zamannya. Dalam upaya ini mereka dibantu oleh Qur’an dan Sunnah, serta alasan dan pengalaman”. (Siddiqi, 1992: 69)
“Ekonomi Islam memusatkan perhatian pada studi tentang kesejahteraan manusia yang dicapai dengan mengorganisasikan sumberdaya di bumi atas dasar kerja sama dan partisipasi”. (Khan, 1994: 33)
“Ekonomi Islam merupakan studi mengenai represensi perilaku ekonomi umat Islam dalam suatu masyarakat muslim modern”. (Naqvi, 1994: 20)
“Ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai cabang ilmu yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumberdaya yang langka, yang sejalan dengan ajaran Islam, tapa membatasi kebebasan individu ataupun menciptakan ketidakseimbangan ekonomi makro dan ekologis.” (Chapra, 1996 : 33)
Pertanyaan yang mungkin muncul, kemudian, bagaimana hubungan antara ekonomi Islam dengan ekonomi “konvensional”?
Ekonomi “konvensional” yang selama ini dikenal berisi banyak pertanyaan-pertanyaan positif, kendati demikian, peranan nilai tidak secara eksplisit disebutkan. Bagi seorang muslim (mat) satu-satunya sumber nilai adalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Konsekuensinya, apapun nilai yang dibutuhkan dalam proses analisis ekonomi harus diturunkan dari kedua sumber nilai tersebut. Menurut Zarqa (1992), ekonomi Islam, secara lebih spesifik, terdiri atas komponen berikut : Pertama, ajaran nilai berasal dari Qur’an, Sunnah, dan sumber-sumber lain (tafsir, fikih, dll). Kedua, pernyataan positif yang ada dalam ekonomi Islam berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah. Keempat, hubungan antar variabel ditemukan lewat observasi, analisis dan eksperimen sebagai sumber ilmu.
Oleh karena itu, tugas ekonomi Islam lebih besar daripada ilmu ekonomi konvensional (Chapra, 1996: 35-36). Tugas pertama ekonomi Islam adalah mempelajari perilaku aktual individu dan kelompok, perusahaan, pasar, dan pemerintah. Aspek inilah yang diupayakan oleh ilmu ekonomi konvensional untuk dilakukan, namun agaknya belum memuaskan karena adanya asumsi perilaku yang mementingkan diri sendiri seperti maksimisasi kekayaan materi dan maksimisasi kepuasan. Karena itu, tugas kedua ekonomi Islam adalah menunjukkan jenis perilaku yang dibutuhkan untuk merealisaikan tujuan. Nilai-nilai moral berorientasi pada realisasi tujuan, maka ekonomi Islam perlu mempertimbangkan nilai-nilai dan lembaga Islam, dan secara ilmiah menganalisis dampaknya terhadap pencapaian tujuan. Ketiga, karena adanya perbedaan antara perilaku ideal dan aktualnya, ekonomi Islam harus menjelaskan mengapa para pelaku ekonomi tidak bertindak menurut jalan yang seharusnya. Keempat, karena tujuan utama pencarian ilmu adalah membantu peningkatan kesejahteraan manusia, ekonomi Islam harus menganjurkan cara bagaimana yang dapat membawa perilaku semua pemain di pasar yang mempengaruhi alokasi dan distribusi sumberdaya sedekat mungkin dengan tingkat yang ideal.
Positif vs Normatif
Pertanyaan yang selalu muncul dalam setiap diskusi mengenai ekonomi Islam adalah : apakah ekonomi Islam berbicara pada dataran positif, normatif, atau keduanya ? Ekonomi positif (positive economics) membahas mengenai realitas hubungan ekonomi, atau “what is”. Sedang ekonomi normatif (normative economics) membicarakan mengenai apa yang seharusnya dilakukan berdasarkan nilai tertentu, baik secara eksplisit maupun implisit; dengan kata lain disebut “what ought to be”.        
Our’an dan Sunnah memang tidak saja berbicara pada dataran normatif (das sollen) namun juga menyajikan informasi positif. Misalnya, lihat kutipan dua surat dalam Al-Qur’an berikut ini :
·       “Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki –Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat”. (Q.S. 26: 27)
·       “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup”. (Q.S.: 96: 6-7)
Ayat-ayat ini menunjukkan bagaimana dampak kenaikkan kekayaan/penghasilan yang substansial terhadap perilaku manusia. Bukti-bukti memang menunjukkan bahwa manusia biasanya cenderung melampaui batas bila kaya dan serba cukup. Contoh pernyataan positif lain dalam Qur’an adalah : 
·       “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis-jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga)”.(Q.S. 3: 14)
·       “Dan sesunguhnya dia sangat bakhil karena kepada harta”. (Surat Al Aadiyaat: 8)
Nabi Muhammad SAW memperingatkan kecenderungan serakahnya manusia, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim, Sebagai berikut :
Andaikata seorang anak Adam telah memiliki harta benda sebanyak satu lembah, tentu ia akan berusaha memiliki dua lembah. Dan adaikata ia telah memiliki dua lembah, tentu ia akan berusaha untuk memiliki tiga lembah. Memang tidak ada yang dapat memnuhi kehendak anak Adam melainkan tanah. Dan Allah akan memberikan tobat bagi mereka yang bertobat.

Manusia dilukiskan dalam aya-ayat ini mempunyai kecintaan yang amat kuat terhadap kekayaan. Ini sejalan dengan pandangan ekonom yang biasanya mengkonsumsikan perilaku manusia terhadap harta cenderung tak ada batasnya. Ayat di atas mengajarkan bahwa ganjaran di hari akhirat membuat manusia bersifat moderat. Ada dua hubungan yang bisa kita tarik benang merah dari ayat-ayat di atas, yaitu bahwa di satu sisi ada keinginan yang tak terbatas dari manusia terhadap kekayaan, dan di sisi lain, keinginan tersebut dapat dibikin moderat bila manusia menyadari dan mengingat ganjaran dan hukuman di akhirat kelak.
Oleh karena itu, barangkali benar pendapat Mannan (1993) bahwa aspek-aspek nornatif dan positif saling berkaitan erat dalam ekonomi Islam. Akibatnya, setiap usaha memisahkan antara keduanya akan berakibat menyesatka. Dengan kata lai, perbedaan antara ekonomi positif dan normatif kurang relevan baik dalam tingkatan teori maupun kebijakan. Oleh karena itu, ia menyimpulkan bahwa masalah dalam ekonomi Islam harus dipahami dan dinilai dalam rangka ilmu pengetahui sosial yang terintegrasi, tanpa memisahkan komponen normatif dan positif.
Kendati demikian, dalam konstelasi pemikiran ekonomi Islam, agaknya persektif ekonomi positif dan normatif dapat diketemukan. Dikalangan para ahli yang memberika kontribusi serius terhadap ekonomi Islam, terdiri atas : para spesialis Syariah yang mengenal ilmu ekonomi ; para ahli ekonomi yang mengenal Syariah ; dan para ahli yangmenguasai ilmu ekonomi sekaligus Syariah, meskipun yang terakhir ini relatif langka. Oleh karena itu, bisa dipahami bila Zarqa (1992) mengklasifikasi 4 katagori pemikiran ekonomi Islam.
Pertama, mereka yang banyak menyumbang pemikiran dalam aspek normatif dalam bidang sistem ekonomi Islam, menentukan prinsip-prinsip baru dalam sistem tersebut, atau menjawab pertanyaan-pertanyaan modern mengenai sistem itu. Para ahli Syariah agaknya merupakan kontributot utama bagi pemikiran tipe ini.
Kedua, penemuan asumsi-asumsi dan parnyataan-pernyataan positif dalam Al Qur’an dan Sunnah, yang relevan bagi ilmu ekonomi. Konsepsi ekonomi Islam mengenai pasar, yang diturunkan dari Syariah, mengajukanasumsi adanya ketimpangan informasi antara pembeli dan penjual. Ini berbeda dengan model persaingan sempurna dalam ekonomi mokro yang secara eksplisit mengasumsikan semua pelaku pasar memiliki informasi yang komplit, dan informasi tersebut tersedia secara bebas. Karya MunawarIqbal (1992) mengenai organisasi produksi dan teori perilaku perusahaan dalam perspektif Islam merupakan contoh kategori ini.
Ketiga, terdapatnya pernyataan ekonomi positif yang dibuat oleh para pemikir islam. Ini bisa ditelusuri dari karya-karya Ibnu Khaldun, misalnya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan menurunkan masyarakat. Contoh lain adalah karya Al-Maqrizi mengenai analisis inflasi.
Keempat, analisis ekonomi dalam bagian sistem ekonomi Islam dan analisis konsenkuensi pernyataan positif ekonomi Islam mengenai kehidupan ekonomi. Penyumbang utama pemikiran ini adalah para ahli ekonomi yang mengenal Syariah dan umumnya begitu perhatian mengenai analisis ekonomi modern. Menariknya, akhir-akhir ini mulai banyak ekonomi non-muslim yang melontarkan pemikiran berlandaskan ekonomi Islam. Ini bisa dilihat dari artikel karya Badal Mukerji, misalnya, mengenai “A Micro Model of the Islamic Tax System”.

C.  Bunga= Riba ?
Memang harus diakui model dan masyarakat ekonomi yang dikembangkan selama beberapa abad terakhir condong berada dalam tradisi sekularisme Barat. Tradisi pemikiran ekonomi konvensional pu cenderung menempatkan falsafah individualisme (maksimisasi kepuasan dan maksimisasi laba), naturalisme (percaya dengan mekanisme pasar sebagai invisible hand), dan pengagungan materi.
            Ini amat kontras dengan Ekonomi Islam yang sarat dengan ajaran etika Islam dan menawarkan dimensi normatif (das sollen) maupun positif (das sein). Ajaran Islam mengajarkan : pertama, etika tauhid, bahwa segala sesuatu bersumber dari Allah, dan meletakkan “ketaqwaan kepada Allah sebagai syarat utama bagi rezeki Allah (Q.S. 7: 96). Kedua, etika tanggung jawab, bahwa “manusia dijadikan Allah sebagai pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya (Q.S. 2: 30). Ketiga keadilan sosial dan ekonomi merupakan paradigma utama. Ke-empat, menekankan perlunya keseimbangan kebutuhan material dan spiritual.
Bagi seorang muslim, satu-satunya sumber nilai adalah Al Qur’an dan Sunnah Nabi. Konsekuensinya, apapun nilai yang dibutuhkan dalam analisis dan perilaku ekonomi harus bersandar pada kedua sumber nilai tersebut. Ini tercermin dari pandangan Islam mengenai bunga. Uniknya, di kalangan ulama dan cendekiawan Islam masih polemik apakah bunga sama dengan riba. Lalu apakah yang dimaksud dengan riba sebenarnya?
1.     Pengertian Riba
Riba menurut istilah bahasa Arab berarti tambahan, peningkatan, ekspansi atau pertumbuhan (Homoud, 1994). Menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan {premium) sebagai syarat yang harus dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman selain pinjaman pokok. Dalam hal ini, riba memiliki arti yang sama dengan bunga sebagaimana konsensus para fuqaha. 
Pengertian riba yang berarti tambahan menurut para ulama dan ahli hukum Islam dapat disimak di bawah ini (Antonio, 1999: 74-75) :
·       Badr Ad Din Al Ayni
“Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.”
·       Raghib Al Asfahani
“Riba adalah penambahan atas harta pokok.”
·       Imam Sarakhsi
“Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (atau padanan yang dibenarkan syariah atas penambhan tersebut).”
2.     Riba Menurut Islam (Al-Qur’an)
Menurut Al-qur’an, pandangan Islam mengenai riba dapat dilihat pada kutipan 4 surat dengan beberapa ayat, yang diturunkan dalam empat tahap berikut ini :
“Dengan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai eridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)” (Q.S. 30:39).
Ayat ke-39 dalam surat Ar-Rum ini diturunkan di kota Mekah sebelum Hijriah. Tafsir ayat ini menunjukkan bahwa riba masih merupakan indikasi bukan keharusan (Homoud, 1994: 3). Namun jelas menolak bahwa riba yang seolah-olah dapat menolong mereka yang membutuhkan merupakan perbuatan yang diridhai Allah.
“maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka yang (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harga orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka siksa yang pedih.” (Q.S. 4: 160-161).
Dalam surat An-Nisa ayat ke 160-1 yang diturunkan di kota Madinah setelah Hijriah di atas masih belum secara tegas melarang riba. Ayat tersebut membicarakan tentang orang-orang Yahudi yang telah melanggar hukum Taurat dengan memakan riba walaupun telah dilarang. Untuk itu Allah mengancam orang-orang Yahudi dengan balasan yang keras.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. 3: 130)
Ayat 130 Surat Ali-Imran turun setelah kaum Muslim mengalami kekalahan dalam perang Uhud pada tahun ke-3 hijriyah. Ayat ini merupakan peraturan pertama yang melarang kaum Muslim memakan riba. Selain itu ayat ini juga menjelaskan bahwa sifat umum riba adalah berlipat ganda.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lamaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah    menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.....Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah .....Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa (dari berbagi jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman ......Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaut (dari penggambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya .” (Q.S. 2 : 275-279).
Ayat- ayat ini diturunkan ketika suku Thaqeef dari Arab menagih riba. Padahal suku ini telah memeluk Islam pada bulan Ramadhan pada tahun ke 9 Hijriah (Homoud, 1994 : 3-4). Perlu dicatat bahwa Mekah sudah dikuasai oleh Islam setahun sebelumnya. Ayat-ayat terakhir yang menyangkut riba tersebut secara tegas mengharamkan segala bentuk riba, bahkan Allah dan Rasul-Nya menyatakan perang terhadap pengambil riba. Selain itu ayat-ayat ini secara tegas memberikan tuntunan bahwa : (1) jual beli tidak indentik dengan riba dan karenanya diperbolehkan; (2) bagi yang telah memakan riba harus segara berhenti menagih sisa riba.
3.  Jenis-jenis Riba
Dalam fikih muamalah setidaknya dikenak dua macam riba, yaitu riba al-Nasi’ah dan riba al Fadl.
a.   Riba Al-Nasi’ah
Istilah Nasi’ah berasal dari nasda yang berarti penundaan yang mengacu pada penangguhan waktu penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi dengan jenis barang ribawi lainnya (Chapra,1985:57). Riba Nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, premi, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Hadits yang menerangkan larangan terhadap riba nasi’ah antara lain:
Diriwayatkan dari Usama ibn Zayd, Rasulullah bersabda,”tidak ada riba kecuali dalam nasi’ah”(H.R. Bukhari dalam kitab Al Buyu)
“Tidak ada riba dalam jika pembayarannya dilakukan dari tangan ke
tangan (cash) “(H.R. Muslim, dalam Kitab Al-Musaqat)
b.     Riba Al-Fadl
Riba Al-fadl adalah pertukaran antara barang-barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda. Atau dengan kata lain riba Al-fadl muncul dalam perdagangan yang tidak adil dan merugikan salah satu pihak. Untuk menghindari terjadinya riba al-fadl maka diperlukan pengetahuan yang sama mengenai harga yang berlaku pada saat yang terjadi oleh penjual dan pembeli. Hal tersebut penting untuk menghindari kecurangan dalam penetapan harga dan kualitas barang yang ditransaksikan.
Contohnya pada transaksi barter: perlunya kesetaraan nilai dan kualitas. Bila anda menjual 1,01 kuintal beras, padahal timbangan yang benar hanya 1 kuintal, maka kelebihan 0,01 kuintal disebut riba al-fadl.
Hadits yang menerangkan tentang riba al fadhl antara lain:
·       Diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri bahwa Rasulullah bersabda, “Emas hendaknya dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayran harus dari tangan ke tangan (cash). Barang siapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah.”(H.R. Muslim, dalam Kitab Al-Masaqqah)
·       Diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri bahwa suatu ketika ketika beliau membawa barni (kurma berkuaitas baik) ke hadapan Rasulullah dan beliau bertanya kepadanya, “Dari mana engkau mendapatkannya?”Bilal menjawab, “Saya mempunyai sejumlah kurma dari jenis yang rendah mutunya dan menukarkannya dengan dua sha’ untuk satu sha’ kurma jenis barni untuk dimakan oleh Rasulullah”, kemudian Rasulullah berkata,”Hati-hati! Hati-hati! Ini sesungguhnya riba, ini sesungguhnya riba. Jangan berbuat begini, tetapi jika kamu membeli (kurma yang mutunya lebih tinggi), juallah kurma yang mutunya rendah untuk mendapatkan uang dan kemudian gunakanlah uang tersebut untuk membeli kurma yang bermutu tinggi itu.”(H.R. Bukhari, dalam Kitab Al Walakah.
4.  Fatwa Mengenai Riba di Indonesia
Dua ormas Islam berpengaruh di Indonesia yaitu Majlis Tarjih Muhammadiyah dan Lajnah Basul Masa’il Nahdatul Ulama sama-sama telah mengeluarkan fatwa mengenai riba. Brikut adalah cuplikan keputusan-keputusan pentingkedua lembaga ijtihad tersebut yang berkenaan dengan riba dan pembungaan uang (Antonio, 1999:103-109):
a.   Majlis Tarjih Muhammadiyah
·     Riba hukumnya haram dengan nash sharih Al-Qur’an dan as Sunnah
·     Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal
·     Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabhihat (dianggap diragukan)
·     Koperasi simpan pinjam hukumnya adalah mubah, karena tambahan pembayaran pada koperasi simpan pinjam bukan termasuk riba dengan catatan, hendaknya pembayaran tmbahan (jasa) tidak melampaui laju inflasi.
b.   Lajaah Bahsul masa’li Nahdatul Ulama
Ada pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak, sehingga hukumnya haram. Pendapat ini dengan beberapa variasi keadaan:
·       Bunga itu dengan segala jenisnya sama dengan riba, sehingga hukumnya haram.
·       Bunga tersebut sama dengan riba sehingga hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut sementara sistem perbankan yang islami atau tanpa bunga belum beroperasi.
·       Bunga itu sama dengan riba, hukumnya haram, akan tetapi boleh dipungut sebab ada kebutuhan yang kuat (hajjah rajihah)
Ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumnya boleh. Pendapat ini  juga dengan beberapa variasi keadaan:
·       Bunga konsumsi sama dengan riba, hukumnya haram. Bunga produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
·       Bunga yang diperoleh dari tabungan giro tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
·       Bunga yang diterima dari deposito yang disimpan di bank, hukumnya boleh.
·       Bunga yang tidak haram kalau bank itu menetapkan tarif bunganya terlebih dahulu secara umum.
Ada pendapat yang menyatakan hukumnya syubhat ( tidak identik dengan haram)
Kita dapat pula menyimak konsep bunga di kalangan kaum Yahudi,  Yunani dan Romawi, serta Injil, yang ternyata juga melarang praktek riba atau “usury” (Antonio, 1999:79-87). Bisa dipahami, alasan pembenaran atas riba dengan menunjukkan kelemahan alasan keadaan darurat, pelarangan bunga yang berlipat, maupun pandangan bank yang tidak termasuk kategori mukallaf.

D.      Apa dan Bagaimana Bank Tanpa Bunga?
Islam melarang riba karena ketidakadialan yang melekat didalamnya. Alternatifnya, Islam menawarkan berbagai bentuk transaksi alternatif, yang syarat dijiwai oleh fikih muamalah. Posisi sistem muamalah dalam Islam dapat dilihat pada gambar 17.1 berikut:
Gambar 17.1
Posisi Sistem Muamalah dalam Islam














Sumber : Muhammad (2000,2)

Bank Syariah di Indonesia
Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah islam yaitu mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadist. Dengan mengacu kepada Al-Qur’an dan Hadist maka diharapkan bank syariah dapat menghindari praktek-praktek yang mengandung unsur-unsur riba dan melakukan usaha dengan kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan.
Perkembangan bank-bank syariah di beberapa negara Islam berpengaruh terhadap Indonesia. Pada awal tahun 1980-an, pembahasan mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam telah dilakukan. Para ulama waktu itu telah berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga, tetapi terbentur oleh adanya perangkat hukum yang dapat dirujuk, kecuali bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga sebesar 0%.
Usaha yang lebih nyata untuk mendirikan bank Islam Indonesia baru dilakukan pada tahun 1990. Dalam musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 22-25 Agustus 1990 di Jakarta, MUI mengamanatkan dibentuknya kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia. Bank Muamalat Indonesia merupakan Bank Umum syariah pertama yang beroperasi di Indonesia yang berdiri atas hasil kelompok kerja MUI. Pada tanggal 1 Mei 1992, Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi. Hingga September  1999 Bank Muamalat Indonesia telah memiliki 45 outlet yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan dan Makassar.
Perkembangan lembaga-lembaga keuangan syariah itu tergolong cepat. Salah satu alasannya adalah karena adanya keyakinan yang kuat dikalangan masyarakat muslim bahwa perbankan konvensional itu mengandung riba yang dilarang dalam Islam. Pendirian Muamalat tersbut diikuti oleh bank-bank perktreditan rakyat syariah. Namun demikian, adanya kedua jenis bank tersebut belum mampu menjangkau masyarakat Isalam lapisan bawah. Oleh karena itu, maka dipeloporilah pendirian lembaga-lembaga simpan pinjam yang disebut dengan Baitul Maal Wa Tamwil.
Bagaimana perkembangan bank syariah di Indonesia? Pada awal operasinya, keberadaan bank syariah ini belum mendapat perhatian dari masyarakat dibandingkan dengan bank-bank konvensional yang telah ada. Landasan hukum bank yang menggunakan sistem syariah hanya dikategorikan sebagai “bank dengan sistem bagi hasil”. Tidak terdapat rincian landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini sangat jelas tercermin dari UU No. 7 Tahun 1992, dimana pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil diuraikan  hanya sepintas lalu dan merupakan”sisipan” belaka.
Perkembangan perbankan syariah pada era reformasi dtandai dengan disahkannya UU No. 10 Tahun 1998. Dalam Undang-Undang tersebut diatur dengan rinci landasan hukum, serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan oleh bank syariah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka bank syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah.
Peluang tersebut ternyata disambut dengan antusias oleh masyarakat perbankan. Sejumlah bank muali memberikan pelatihan dalam bidang perbankan syariah bagi para stafnya. Sebagian bank tersebut menjajaki untuk membuka divisi atau cabang syariah dalam institusinya. Sebagian lainnya bahkan berencana mengkonversi diri sepenuhnya menjadi bank syariah.
Salah satu bank milik pemerintah yang pertama kali melandaskan operasionalnya pada prinsip syariah adalah Bank Syariah Mandiri (BSM). Secara struktural BSM berasal dari Bank Susila Bakti, sabagai salah satu anak perusahaan di lingkup Bank Mandiri, yang kemudian dikonversikan menjadi bank syariah secara penuh.
Perkembangan lain bank syariah di Indonesia pasca reformasi adalah dikarenakan konversi cabang bank umum konvensional menjadi cabang syariah. Sampai dengan Maret 2002, di Indonesia sudah ada (Karim,2002,Antonio,2002):
-    2 Bank Umum Syariah (BUS) secara penuh (yaitu Bank Muamalat dan Bank Syariah Mandiri)
-    6 Unit Usaha Syariah (UUS), yaitu Bank IFI Syariah, Bank BNI Syariah, Bank Jabar Syariah, Bank Bukopin Syariah, Bank BRI Syariah, Bank Danamon Syariah.
-    80 BPR Syariah
-    Sekitar 8.000 Baitul Maal Wat Tamwil (BMT)
Bunga vs Bagi Hasil
Bank Syariah
·       Besar kecilnya bagi hasil yang diperoleh deposan tergantung pada:
-       Pendapatan bank
-       Nisbah bagi hasil antara nasabah dan bank
-       Nominal deposito nasabah
-       Rata-rata saldo deposito untuk jangka waktu tertentu yang ada pada bank
-       Jangka waktu deposito karena berpengaruh pada lamanya investasi
·       Bank syariah memberi keuntungan kepada deposan dengan pendekatan LDR, yaitu mempertimbangkan rasio antara dana pihak ketiga dengan pembiayaan yang diberikan.
·       Dalam perbankan syariah, LDR bukan saja mencerminkan keseimbangan tetapi juga keadilan, karena bank benar-benar membagikan hasil ril dari dunia usaha (loan) kepada penabung (deposit)
Bank Konvensional
·       Besar kecilnya bunga yang diperoleh deposan tergantung pada:
-         Tingkat bunga yang berlaku
-         Nominal deposito
-         Jangka Waktu deposito
·       Semua bunga yang diberikan kepada deposan menjadi beban biaya langsung
·       Tanpa memperhitungkan berapa pendapatan yang dihasilkan dari dana yang dihimpun
·       Konsekuensinya, bank dapat menanggung bunga dari peminjam yang ternyata lebih kecil dibandingkan dengan kewajiban bunga ke deposan. Hal inilah yang disebut dengan  negative spread atau keuntungan negatif.
Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil
BUNGA
BAGI HASIL
a.    Penentuan bunga dibuat waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
a.   Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi
b.    Besarnya persentase bedasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
b.   Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
c.     Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh nasabah untung atau rugi
c.   Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak
d.    Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat seklipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”
d.   Jumlah pembagian laba meningkat sesuai peningkatan jumlah pendapatan
e.    Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh agama termasuk Islam
e.   Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil
Sumber: Antonio (1999:102)

E.      Produk Bank Syariah
            Sistem operasional Bank Syariah agak berbeda dengan sitem operasional bank konvensional. Perbedaan mencolok terjadi terutama produk-produk yang ditawarkan maupun jenis-jenis pembiayaan. Secara garis besar berbagai produk dan pembiayaan bank syariah diarangkum dalam gambar 17.2 berikut:
Gambar 17.2.
Sistem Operasional Bank Syariah


 
















Sumber : Muhammad (2000:4)

1.     Produk Penghimpunan Dana
Produk-produk penghimpunan dana masyarakat yang ditawarkan bank syariah terdiri dari:
a.     Wadi’ah
Al-wadi’ah merupakan titipan murni dari satu pihak ke pihak lainnya baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Pada pelaksanaannya, wadi’ah dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
·        Wadi’ah yad al-amanah
Pihak yang pertama menerima titipan tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Pihak yang memberikan titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan.
·        Wadi’ah yad adh-dhamanah
Pihak yang pertama menerima titipan boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan tanpa izin pemilik barang atau uang dan harus bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang atau uang tersebut menjadi hak penerima titipan, dalam hal ini bank sebagai penerima titipan dapat memberikan insenstif berupa bonus kepada si penitip.
b.     Al – Musyarakah
Al – Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal /expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Al Musyarakah terdiri dari dua jenis, yaitu:
·     Muyarakah pemilikan, tercipta karena warisan, wasiat atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilian suatu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebua aset nyata, dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.
·     Musyarakah Akad, tercipta dengan cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari meteka memberikan modal musyarakah dan sepaat untuk berbagi keuntungan maupun kerugian.
Aplikasi Al-Musyarakah dalam perbankan syariah berupa:
·     Pembiayaan Proyek
Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
·     Modal Ventura
Pada lembaga keuangan khusus yang diperbolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, Al Musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu bank melakukan disvestasi atau menjual sebagian sahamnya, baik sekaligus maupun bertahap.
Al Musyarakah
















c.   Al Mudharabah
Al Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang tertuang dalam kontrak, sedangkan apabila menderita kerugian ditanggung oleh pemilih modal selama kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kelalaian pengelola. Seandainya kerugian tersebut diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian terbut.
Gambar 17.4
Al-Mudharabah

Sumber : Antonio (1999:153)




Jenis-jenis Al Mudharabah yaitu :
1)   Mudharabah Muthlaqah
Adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib (pengelola) yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.
2)   Mudharabah Muqayyadah
Adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang dibatasi dengan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha.
Aplikasi mudharabah dalam perbankan syariah meliputi :
1)   Pada sisi penghimpunan dana, mudharabah diterapkan untuk :
(a)   Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban dan sebagainya.
(b)  Deposito biasa, dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu.
2)   Pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk :
(a)   Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja untuk perdagangan dan jasa.
(b)  Investasi khusus, yang disebut juga mudharabah muqayyah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul maal.
2.     Produk Penyaluran Dana
Produk-produk penyaluran dana yang ditawarkan oleh bank syariah antara lain :
a.     Jual Beli
1)       Bai’al Murabahah
Bai’al Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam Bai’al Murabahah penjual harus memberitahukan harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai imbalannya.
Bai’al Murabahah diterapkan pada pembiayaan untuk pembelian barang-barang inventori, baik produksi maupun konsumsi. Dalam hal ini bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Bank dan nasabah harus menyepakati harga pokok, keuntungan dan jangka waktu, kemudian bank membeli barang yang dipesan dan diberikan kepada nasabah. Nasabah kemudian mengangsurnya sesuai harga dan jangka waktu yang disepakati.
2)       Bai’as Salam
Bai’as Salam berarti pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari sementara pembayaran dilakukan di muka.
Bai’as Salam diterapkan untuk pembiayaan pertanian jangka pendek, seperti tanaman cabai, padi dan sebagainya. Di sini bank bertindak sebagai pembeli dan nasabah sebagai penjual. Bank membayar harga yang disepakati di awal kontrak, sementara nasabah akan mengirimkan barang yang dipesan setelah jatuh tempo. Ketika barang akan dikirimkan oleh nasabah, bank dapat menjualnya kepada pihak lain dengan harga yang lebih tinggi agar mendapat keuntungan.
3)       Bai’al Istishna
Transaksi Bai’al Istishna merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang kemudian berusaha untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati melalui orang lain dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga dan sistem pembayaran, apakah dibayar dimuka, melalui cicilan atau ditangguhkan sampai waktu tertentu.
Bai’al Istishna diterapkan untuk pembiayaan konstruksi dan barang-barang manufaktur jangka pendek. Dalam hal ini bank bertindak sebagai pemesan (pembeli), sedangkan nasabah bertindak sebagai penjual atau pembuat. Bank dapat menyalurkan dana secara bertahap sesuai dengan prinsip Bai’al Istishna. Ketika barang pesanan telah selesai, bank dapat menjualnya secara cicilan kepada nasabah lain untuk mendapatkan keuntungan.



Implementasi produk-produk perbankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah di Indonesia dapat dilihat pada jenis-jenis produk yang ditawarkan oleh Bank Muamalat Indonesia, sebagaimana disajikan dalam Tabel 17.2









Tabel 17.2
Produk-produk Pembiayaan Bank Muamalat Indonesia

Jenis Produk
Definisi Teknis Perbankan
Implementasi di BMI
Ketentuan BI
Rekomendasi
1.     Murabahah (Cost-Plus Financing)
Pembiayaan berdasarkan perjanjian jual beli atas barang halal tertentu, dimana pemilik barang (bank) akan menyerahkan barang seketika pembeli (nasabah) dengan kelebihan/untuk yang disepakati bersama.
Apabila pembayaran kewajiban dilakukan secara angsuran, disebut Bai Batsaman Ajil
Sudah dilakukan
Kolektibilitas belum diatur dalam SK DIR-BI No.30/27/KEP/DIR, 27 Februari 1998, namun diatur dalam ketentuan Pedoman dan Pengawasan Bagi Hasil (PPBH-BI)
(PPBH-BI) perlu diperbaharui
2.     Istishna (Purchase with Specification)
Pembiayaan kepada nasabah (produsen) atas adanya pesanan dari pihak lain (pembeli), di mana pesanan tersebut ada kriteria khusus dan harga tertentu. Pembayaran dilakukan secara progresif sesuai dengan kemajuan pekerjaannya (proyek)
Belum dilakukan karena belum diatur dalam PPBH-BI
Belum diatur dalam PPBH-BI
-   Idem
-   Untuk project financing


Jenis Produk
Definisi Teknis Perbankan
Implementasi di BMI
Ketentuan BI
Rekomendasi
3.     Bai’ Salam
Pembiayaan berdasarkan pesanan nasabah dan merupakan bagian dari istishna. Dalam Bai’ Salam, bank memberikan dana pembiayaan secara tunai diawal kepada pembuat barang pesanan nasabah (produsen supplier). Barang yang dibeli masih berada dalam tanggungan produsen dengan ciri-ciri yang telah ditentukan dan berlaku umum.
Idem
Idem
PPBH-BI perlu diperbaharui
4.     Ijarah wa iqtina (Lease and Hire Purchase)
Perjanjian antara bank sebagai pemilik (yang menyewakan) dengan nasabah sebagai penyewa. Penyewa menyetujui uang sewa selama masa sewa yang diperjanjikan. Dalam perjanjian tersebut penyewa mempunyai komitmen akan membeli objek sewa tadi bila masa sewa berakhir.
Idem
Dalam PPBH-BI yang ada hanya ijarah, namun ada ketidak- jelasan bolehnya leasing dilakukan oleh bank.
-   Ijara wa iqtina
-   Karena bila ijara saja akan merugikan bank (barang sewaan tidak dibeli)

Jenis Produk
Definisi Teknis Perbankan
Implementasi di BMI
Ketentuan BI
Rekomendasi
5.     Mudharabah (Trust Financing)
Pembiayaan kerjasama antara bank dengan pihak lain (nasabah) dalam suatu usaha yang produktif dan halal serta dikelola oleh ahlinya. Pembiayaan diberikan 100% sesuai nilai proyek dan penentuan di awal yang sesuai nisbah (porsi) yang disepakati bersama.
Sudah dilakukan
Kolektibilitas belum diatur dengan tegas di PPBH-BI
Kolektibilitas = kolektibilitas penyertaan
6.     Musyarakah (Partnership Financing)
Kerjasama perkongsian dana yang dilakukan oleh dua atau lebih anggota perkongsian dalam suatu usaha yang dijalankan oleh pelaksana usaha, dimana pembagian keuntungan sesuai dengan kesepakatan bersama. Pelaksanaan usaha boleh dilakukan oleh salah satu dari masing-masing anggota penyerta dana atau boleh juga disepakati bersama. Dalam penyertaan ini pemilik dana boleh melakukan intervensi manajemen usaha tersebut.
Sudah dilakukan
Idem
Idem
7.     Rahn
Perjanjian utang piutang dengan memberikan barang yang bermanfaat sebagai jaminan utang. Jaminan yang diberikan itu bisa berupa yang tidak aktual, seperti sertifikat. Jaminan itu bisa dijual/dihargai dalam waktu
Belum dilakukan, karena ketidak- jelasan
diatur dalam PPBH-BI namun belum diatur secara terperinci, khususnya kebolehan
perbankan konvensional telah melakukan hal

Jenis Produk
Definisi Teknis Perbankan
Implementasi di BMI
Ketentuan BI
Rekomendasi

yang disetujui kedua belah pihak, karena utang tidak bisa dilunasi oleh nasabah.
kebolehan bank melakukan kegiatan gadai
secara eksplisit untuk melakukan kegiatan rahn (gadai)
tersebut, yaitu Flexi Home, Home Power, Flexican, dan Home Invest. Oleh karena itu, Rahn sepatutnya diatur.
8.     Wakalah
Perjanjian pemberian kuasa hukum yang bertindak untuk dan atas nama orang yang diwakilinya dalam melakukan suatu tugas/transaksi selama waktu yang ditentukan. Seperti dalam transaksi L/C, perwakilan melalui pengacara atau jual beli.
Sudah dilakukan
Diatur PPBH-BI, belum diatur dalam SE/SK DIREKTUR BI
Perlu penyempurnaan aspek teknis L/C, khususnya yang menyangkut terminologi


Jenis Produk
Definisi Teknis Perbankan
Implementasi di BMI
Ketentuan BI
Rekomendasi
9.     Kafalah
Perjanjian pemberian jaminan yang diberikan oleh satu pihak ke pihak lain. Pihak pemberi jaminan penjamin bertanggungjawab atas pembayaran kembali kewajiban nasabah (yang mendapatkan utang) atau pelaksana prestasi tertentu yang menjadi hak penerima jaminan.
Sudah dilakukan
Idem
Fasilitas bank garansi
10.  Bai’ Al-Dayn
Jual beli utang tanpa mengurangi nilai utang tersebut. Untung yang didapat dari jual beli adalah berasal dari keuntungan atas utang tersebut.
Sudah dilakukan
Idem
Perlu penyempurnaan khususnya pemenuhan aspek bukti underlying transaction
11.  Hawalah
Perjanjian pemindahan hak/kewajiban yang dilakukan pihak  I kepada pihak II untuk menuntut pembayaran utang dari/membayar kepada pihak III, karena pihak III berutang kepada pihak I. Atau pihak I berutang kepada pihak III dan pihak II berutang kepada pihak I
Belum dilakukan
Idem
Factoring anjak piutang

Jenis Produk
Definisi Teknis Perbankan
Implementasi di BMI
Ketentuan BI
Rekomendasi
12.  Reksadana Syariah
Penyertaan dalam unit reksadana equity dan obligasi bagi hasil untuk investasi-investasi yang dibenarkan oleh syariah. Contohnya, antara lain :
-        Perusahaan dengan produk/jasa hotel
-        Rasio pendapatan bunga terhadap  total pendapatan maksimal 15%
-        Debt equity ratio maksimal 30%
Belum dilakukan
Belum diatur. Perbankan konvensional hanya diperbolehkan investasi di reksadana fixed iincome
Perlu diatur batasan investasi pada reksadana syariah








b.     Produk Jasa
Di samping produk-produk pembiayaan, bank syariah juga mempunyai produk-produk jasa atau pelayanan yang berdasarkan akad syariah, yaitu :
1)     Wakalah
Prinsip perwakilan yang diterapkan dalam bank syariah dimana bank bertindak sebagai wakil dan nasabah sebagai pemberi mandat (muwakil). Prinsip ini diterapkan untuk pengiriman uang atau transfer, penagihan dan letter of credit (L/C). Sebagai imbalan bank mendapatkan fee atas jasanya terhadap nasabah.
2)     Kafalah
Prinsip peminjaman dimana bank bertindak sebagai penjamin (kafil) sedangkan nasabah sebagai pihak yang dijamin (makfulah). Sebagai imbalan bank mendapatkan bayaran atas jasanya terhadap nasabah.
Aplikasi dalam perbankan biasanya digunakan untuk membuat garansi atas suatu proyek (performance bonds), partisipasi dalam tender (tender bonds), atau pembayaran lebih dulu (advance payment bonds).
3)     Hawalah
Prinsip penagihan utang, dimana bank bertindak sebagai penerima pengalihan piutang (muhal’alaih) dan nasabah bertindak sebagai pengalih piutang (muhil). Sebagai imbalan bank memperoleh upah pengalihan dari nasabah.
Aplikasi dalam perbankan, hawalah diterapkan pada fasilitas tambahan kepada nasabah pembiayaan yang ingin menjual produknya kepada pembeli dengan jaminan pembayaran dari pembeli tersebut dalam bentuk giro mundur (post dated check).
4)     Rahn
Ar Rahn terbagi menjadi dua, yaitu :
a.      Sebagai jaminan pembiayaan, bank menyertai pembiayaan kepada nasabah yang dimungkinkan diambil jaminan seperti bai’al Murabahah dan bai’as Salam. Dalam hal ini bank tidak menahan jaminan secara fisik, tetapi hanya surat-suratnya saja.
b.     Sebagai produk, bank dapat menerima jaminan dan menahannya, misalnya dalam bentuk emas dan barang kecil yang bernilai lainnya untuk pinjaman yang diberikan dalam jangka pendek.
5)     Qardh
Diterapkan untuk pinjaman kepada nasabah yang mengelola usaha sangat kecil. Untuk pembiayaan ini dananya diambilkan dari dana sosial seperti zakat, infaq dan shadaqoh. Jika nasabah mengalami musibah dan tidak dapat mengembalikan, maka bank dapat membebaskannya.

Tentunya menarik untuk melihat sejauhmana bank syariah berperan dalam membiayai sektor-sektor ekonomi di Indonesia. Tabel 17.3 menyajikan peranan bank syariah dalam pendanaan sektor-sektor ekonomi di Indonesia.
Tabel 17.3
Pendanaan Sektor Ekonomi oleh Bank Syariah
Bank
Perdagangan
Pertanian
Industri
Jasa
Lain-lain
Muamalat
18,00%
2,00%
28,00%
42,00%
10,00%
Baituniaga
NA
NA
NA
NA
NA
Berkah Gema
48,00%
0,00%
0,00%
8,00%
44,00%
Berkah Amal
63,40%
1,85%
5,69%
15,57%
13,49%
Dana Mardati
61,89%
1,72%
9,60%
20,61%
6,18%
Dana Tijarah
75,90%
1,30%
3,50%
14,10%
2,20%
Inti Raqqat
33,00%
2,00%
0,50%
57,50%
7,00%
Artha Karima
70,00%
0,00%
10,00%
15,00%
5,00%
Amanah Ummah
54,00%
3,90%
9,40%
13,90%
18,40%
Bangun Drajat
44,80%
4,10%
14,70%
12,70%
23,70%
Hareukat
44,32%
3,64%
4,30%
8,13%
39,61%
Mentari
90,79%
0,52%
4,71%
1,27%
2,71%
Babussalam
40,00%
20,00%
30,00%
5,00%
5,00%
Baiturrahman
50,00%
20,00%
10,00%
15,00%
5,00%
Baiturrida
55,05%
3,39%
9,28%
19,01%
13,01%
Ikhwanul Ummah
35,00%
50,00%
10,00%
5,00%
0,00%
Saleh Artha
82,00%
1,50%
4,00%
10,00%
2,50%
Qiradh
70,20%
0,60%
1,20%
23,00%
5,00%
Sumber : Arifin (1999:177)

Dari produk yang ditawarkan oleh bank syariah dan “dibeli” oleh masyarakat pengguna di Indonesia masih kecil, dibandingkan dengan produk bank konvensional. Berdasarkan data yang ada, terlihat bahwa dilihat dari sisi pangsa dana pihak ketiga, pembiayaan dan Financial Deepening (kredit/GDP) dari tahun 1997 hingga tahun 1999, kontribusi bank syariah masih kalah jauh disbanding bank konvensional (lihat Tabel 17.4)
Tabel 17.4
Pangsa Bank Syariah vs Bank Konvensional
Aspek Peran
Jenis Bank
Tahun
1997
1998
1999
Dari pihak ketiga
Bank Syariah
0,10%
0,05%
0,07%

Bank Konvensional
99,90%
99,95%
99,93%
Dana Pembiayaan
Bank Syariah
0,10%
0,08%
0,17%

Bank Konvensional
99,90%
99,92%
99,83%
Financial Deepening
Bank Syariah
0,03%
0,004%
0,001%

Bank Konvensional
0,08%
0,05%
0,11%
Sumber : Karim (2001:32)



BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
1.       Pemikir Islam telah banyak menyumbangkan pemikiran terhadap ilmu ekonomi, justru ketika Eropa berada dalam “Abad Kegelapan “, jauh sebelum kelahiran buku Adam Smith.
2.       Kritik utama ekonomi Islam terhadap ilmu ekonomi modern adalah kecenderungan bebas nilai (value free) dan amoral (Ahmad, 1981; 1992). Ini besar kemungkinan diakibatkan : Pertama, karena ilmu ekonomi cenderung berbicara pada dataran positif (positive economics) untuk menjaga objektifitas ilmu namun amat sering dilanda kritis. Kedua, model dan masyarakat ekonomi yang dikembangkan selama 2 abad terakhir berada dalam tradisi sekularisme Barat. Ketiga, tradisi pemikiran Neo-Klasik cenderung menempatkan fasafah individualisme (maksimilisasi kepuasan dan maksimisasi laba), naturalisme (percaya dengan mekanisme pasar sebagai invisible hand), dan utilitarianisme sebagai dasar penyusunan teori dan modelnya.
3.       Riba menurut istilah bahasa Arab berarti tambahan, peningkatan, ekspansi atau pertumbuhan (Homoud, 1994). Menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan {premium) sebagai syarat yang harus dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman selain pinjaman pokok. Dalam hal ini, riba memiliki arti yang sama dengan bunga sebagaimana konsensus para fuqaha. 
4.       Riba menurut Islam dibedakan menjadi dua, yaitu Riba Nasi’ah dan Riba Fadhl.
5.       Islam melarang riba karena ketidakadialan yang melekat didalamnya. Alternatifnya, Islam menawarkan berbagai bentuk transaksi alternatif, yang syarat dijiwai oleh fikih muamalah.
6.       Produk penghimpunan dana pada bank syariah meliputi: Wadiah, Al Musyarakah, dan Al Mudharabah.
7.       Produk penyaluran dana yang ditawarkan bank syariah meliputi:
§  Jual Beli : Bai’al Murabahah, Bai’as Salam, Ba’i al Istishna
§  Produk Jasa : Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn, Qardh
B.      Saran
Pemerintah Indonesia hendaknya lebih memperbanyak jumlah Bank Sayriah di Indonesia, dikarenakan penduduknya mayoritas penduduk Indonesia yang mayoritas muslim. Selain itu hendaknya para pelaku ekonomi syariah harus giat mensosialisasikan manfaat menabung di bank syariah dan menggunakan jasa-jasa perbankan syariah agar bank syariah semakin berkembang di Indonesia.


























DAFTAR PUSTAKA

Kuncoro, Mudrajad & Suhardjono. 2011. Manajemen Perbankan Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar